Justino Djogo, MA. MBA, Direktur Eksekutif ,Co-Founder Forum Dialog Nusantara.
Ibarat permainan Dart, nama Letkol. Inf Teddy Indra Wijaya seolah menjadi “bullseye (bull’s eye)” alias istilah untuk bagian tengah papan permainan Dart. Nyatanya, Bullseye bukanlah sasaran dengan nilai tertinggi, meski merupakan sasaran tersulit dalam permainan Dart. Pun Letkol Teddy yang seolah menjadi sasaran bidik dari viralnya isu seputar RUU TNI yang sedang dibahas DPR. Padahal sasarannya bukan personal Letkol Teddy. Melainkan papan dart-nya, yang dalam hal ini adalah institusi TNI.
Kasad Jenderal TNI Maruli Simanjuntak menanggapi keriuhan di media massa dan media sosial terkait RUU TNI tersebut, sebagai upaya yang salah alamat, jika ditujukan ke institusi TNI. Dalam hal ini TNI AD. “Kami patuh pada putusan Undang-undang,” tegasnya. Ia juga mempertanyakan, “Mengapa ketika ada institusi lain yang masuk ke semua Kementerian atau lembaga, nggak (ada yang) ribut. Nggak ada omongan sama sekali. Jadi kita patut curiga, ini dari mana, agen asingkah?”
Trauma atau Kita Terbuai Dikotomi “Sipil- Militer”?
Di Indonesia, militer (prajurit aktif) boleh menjabat di Kementrian dan lembaga tanpa menanggalkan status tentara aktif, termaktub dalam Pasal 47 (ayat 2) dalam pembahasan RUU TNI, “memancing” kontroversi. Entah siapa yang melempar pancing, apa tujuannya, dan mengapa, lain kali kita bahas. Tapi mari lebih dulu kita tengok penambahan 4 posisi yang dapat diduduki oleh perwira aktif dalam revisi UU Nomor 34 Tahun 2004 Pasal 47 ayat (2) yang sebelumnya berbunyi: “Prajurit aktif dapat menduduki jabatan pada kantor yang membidangi koordinator bidang Politik dan Keamanan Negara, Pertahanan Negara, Sekretaris Militer Presiden, Intelijen Negara, Sandi Negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, Search and Rescue (SAR) Nasional, Narkotika Nasional, dan Mahkamah Agung.”
Dalam draf UU TNI Pasal 47 ayat 1, selain 10 posisi jabatan yang disebut di atas, penambahan empat lembaga, semuanya terkait dengan keahlian dan kompetensi TNI. Yaitu posisi Jaksa Agung Muda Pidana Militer di Kejaksaan Agung, kamar peradilan militer di MA, Pengawasan Penegakan Hukum Sumber Daya Kelautan di Kementerian KKP, dan Dewan Pertahanan Nasional.
Menurut saya, ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan. Pertama, terkait sejarah. TNI semasa masih bernama ABRI, terbukti mampu menjembatani perbedaan antara parpol yang saling bertikai, pada era Orde Lama. Berkaca pada sejarah, “Dwi Fungsi ABRI” yang dicetuskan Jenderal A.H Nasution pada 1958, berlatar pada sengkarutnya sistem politik era 1949-1959. Dalam suasana sistem politik Demokrasi Liberal berdasarkan UUDS 1950, Pemerintahan didominasi elite sipil, dengan partai politik (parpol) sebagai lembaga terpenting. Tak ada tempat bagi militer, dalam sistem politik semacam ini. Sebaliknya, keterlibatan militer malah dianggap bagai “gulma” bagi kehidupan politik, pada masa itu.
Menginjak Era Demokrasi Terpimpin (1959-1966), Presiden Soekarno menempatkan ABRI dalam tatanan sosial politik Indonesia. Perbedaan pendapat antara elit politik berbeda “isme”, menajamkan ketegangan sosial, konfrontasi politik, hingga konflik ideologis. Untuk itu maka militer saat itu menjadi jawaban. Sebab, militer dianggap tak memiliki kepentingan atas kursi kekuasaan yang sedang diperebutkan.
Kedua, jika pada masa lawas prajurit TNI dinilai lebih mumpuni, karena kualitas pendidikan belum merata, maka memasuki masa Orde Baru hingga kini, prajurit TNI masuk kategori “manusia pilihan”. Sebab, ada serangkaian syarat ketat yang harus dipenuhi, agar bisa lolos berbagai seleksi sebagai calon prajurit. Setelah lolos, para calon prajurit ini mendapat pendidikan militer yang tak mungkin didapat oleh pendidikan non militer. Tak hanya ilmu perang, taktik, dan strategi, tapi juga ilmu kepemimpinan, intelijen, dan penguasaan wilayah. Jelas bahwa prajurit TNI punya skill kepemimpinan, taktik dan strategi di atas masyarakat sipil.
Ketiga, apakah revisi RUU TNI yang kini sedang dibahas DPR merupakan pertanda akan adanya “Dwi Fungsi ABRI Jilid II”? Ini yang memantik suara cemplang dari berbagai lapisan masyarakat. Jika kita kini tetap berkutat pada masa silam yang dihantui konsep Dwi Fungsi ABRI, artinya kita tidak maju-maju sebagai bangsa, karena masih sibuk dengan dikotomi “sipil” atau “militer”. Mengapa kita tak kunjung cerdas dengan mengukurnya melalui kacamata kepentingan bangsa dan negara? Bukankah kita bakal jalan di tempat, bila kepentingan nasional dilupakan, gegara sibuk adu bantah soal sipil-militer?
Urgensitas Prajurit Aktif di Ranah Sipil
Saya pribadi merasa, masyarakat sipil kita sudah banyak yang bergelar Doktor, Profesor, dari hasil mereka menimba ilmu di sekujur bumi. Jelas, pakar-pakar dari kalangan sipil ini tak kalah ilmu dengan prajurit. Meski prajurit TNI pun banyak yang meniti jenjang ilmu setinggi-tingginya, sehingga dapat disebut “prajurit cendekia”. Entah siapa yang lebih moncer ilmunya, sehingga berhak menduduki berbagai jabatan di kementrian.
Namun, setelah berjalan selama lebih dari dua dekade pasca Reformasi, idealnya penempatan posisi militer pada jabatan sipil, sudah bisa digantikan oleh pejabat dari kalangan sipil. Atas nama “supremasi sipil”, memang jabatan-jabatan tersebut lebih banyak diisi oleh kalangan “sipil” seperti anggota kepolisian RI.
Pertanyaan saya, pertama: Apakah penempatan sipil dinilai berhasil atau sudah memenuhi harapan? Sepertinya belum. Jika tidak, mengapa ada penempatan Mayor Jenderal (Mayjen) Novi Helmy Prasetya sebagai Direktur Utama Perum Bulog sejak Seltember 2024, oleh Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir.
Badan Urusan Logistik (Bulog) merupakan BUMN yang bertanggung jawab atas pengadaan dan distribusi bahan pangan pokok, memiliki dua peran utama yakni menjaga ketersediaan pangan nasional dan menstabilkan harga pangan, khususnya beras. Artinya, Bulog memegang peranan strategis bagi ketahanan pangan Indonesia, terutama di tengah kondisi dunia yang semakin kompleks, perubahan iklim yang mengancam produksi pangan, hingga ketidakpastian geopolitik yang memengaruhi rantai pasok. Namun demikian, apakah harus prajurit aktif yang dapat memimpin Bulog? Tidak adakah pakar dari kalangan sipil yang sanggup melakukannya?
Kedua, ketimbang terbawa emosi yang terlecut oleh provokasi, bukankah lebih baik kita menikirkan regulasi yang tepat, agar memperkuat posisi TNI sebagai tentara profesional yang adaptif terhadap perubahan zaman. Bukankah demikian?
Maka, seperti disampaikan Wakil Ketua Komisi I DPR RI Dave Laksono dari Partai Golkar pada saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) di Senayan (11/3/2025), bahwa penempatan prajurit aktif di jabatan sipil harus diatur secara lebih spesifik, agar memastikan prinsip profesionalisme TNI tetap terjaga. Menurutnya, revisi pasal ini akan mencakup mekanisme dan batasan yang lebih jelas, agar tidak bertentangan dengan prinsip supremasi sipil. Jika demikian, mengapa kita harus tetap kuatir?
Ketiga, terkait RUU TNI Pasal 53 mengenai ketetapan usia pensiun prajurit TNI yang awalnya pada usia 53 tahun bagi Bintara dan Tamtama, serta 58 tahun bagi Perwira, menjadi bertambah. Atas nama “mengoptimalkan potensi sumber daya manusia TNI”, maka usia pensiun prajurit TNI ditambahkan. Tentu hal ini didasari pertimbangan mengenai peningkatan angka harapan hidup, kesenjangan dengan aturan pensiun di Polri dan Aparatur Sipil Negara, yang disesuaikan dengan perkembangan regulasi dan dinamika sosial.
Maka, urgensitas itu ada pada regulasi yang jelas, agar lembaga militer diisi oleh begawan-negarawan, serta penempatan prajurit sesuai skill yang dimilikinya. Bukan sebaliknya, malah menjadi kumpulan lansia yang membebani kas TNI.
(Balitbang DPP Partai Golkar, Kajian Politik & Luar Negeri).