Demokrasi Tak Boleh Kalah Melawan Oligarki

Menanggapi perkembangan sosial-politik yang hangat dibicarakan masyarakat belakangan ini, Forum Dialog Nusantara (FDN) menyelenggarakan webinar dengan tema “Membongkar Polemik Penundaan Pemilu & Tiga Periode.” Dalam webinar tersebut, Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Prof. Siti Zuhro, menyampaikan beberapa poin pernyataaan sebagai berikut:

1. Keterkaitan isu kemunduran demokrasi dengan bisnis tidak perlu dijelaskan lagi karena sudah nampak secara gamblang siapa yang berperan apa dan melakukan bisnis apa. Ini yang kemudian menimbulkan rasa kekhawatiran di masyarakat setelah mengemukanya wacana penundaan pemilu dan perubahan masa jabatan presiden menjadi 3 (tiga) periode.

2. Seharusnya yang diangkat ke publik adalah isu-isu terkait bagaimana setiap pemangku kepentingan (stakeholders) di dalam masyarakat bisa saling bersinergi untuk mengatasi masalah kemiskinan dan pengangguran. Ini justru masyarakat dibuat was-was (khawatir) dengan ketidakpastian-ketidakpastian yang baru, sehingga menyebabkan timbulnya distrust (ketidakpercayaan) yang berakibat pada gelombang protes dari masyarakat.

3. Kita pada saat yang sama diminta untuk menunjukan Indonesia sebagai negara hukum dan bukan negara politik. Tetapi di saat yang sama pula, justru yang ditunjukan adalah bukan Indonesia sebagai suatu negara hukum melainkan negara politik, yang mana unsur kepentingannya yang lebih didahulukan.

4. Kita sudah punya sejarah panjang terkait maintaining power, atau bagaimana selalu dilakukan upaya-upaya tertentu agar kekuasaan itu tetap langgeng. Hal itu yang menyebabkan timbulnya gerakan reformasi pada tahun 1998, yang semangatnya untuk memberantas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Namun kenyataannya, sekarang ini KKN semakin luar biasa dengan praktek otonomi daerah yang tidak dikelola secara serius. Jadi terjadi set back (kemunduran) bukan hanya di soal demokrasi, tetapi juga dalam penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi daerah.

5. Distorsi-distorsi yang terjadi dalam penyelenggaraan pemilu, khususnya pemilu tahun 2019 yang lalu, menunjukan ternyata ada korelasi antara kualitas pemilu dengan implementasi dari tata kelola pemerintahan kita. Pemilu yang tidak berkualitas akan berdampak terhadap kualitas tata kelola pemerintahan. Karena pemilu yang banyak distorsi tersebut, kita sekarang menuai hasil yang tidak berkualitas juga, dimana pemerintah tidak mampu membuat pemerintahannya partisipatif, transparan dan akuntabel.

6. Harus menjadi suatu pembelajaran kita bersama, bahwa pemilu yang berkualitas dan berkeadaban nantinya akan berkorelasi dengan pemerintahan baru yang dihasilkannya. Kalau hal ini tidak diperhatikan, maka pemilu serentak 2024 nanti hanya menjadi seremoni saja. Saat ini, political commitment untuk mewujudkan pemilu yang berkualitas tersebut belum terlihat. Apalagi ditambah dengan kegaduhan wacana penundaan pemilu dan perubahan masa jabatan presiden. Kegaduhan ini membuat masyarakat menjadi marah dan tidak percaya, karena merasa kurang dilibatkan.

7. Sekarang ini, ada anggapan bahwa masyarakat semakin takut berpendapat dan kita seperti back to otoritarianism. Hal ini terjadi karena kita tidak berkomitmen menjaga bahwa kita ini negara hukum, yang dipertunjukan justru seakan-akan hukum dan konstitusi bisa diutak-atik atas dasar kepentingan penguasa. Penegakan hukum kita juga lemah, yang kemudian berdampak pada penegakan keadilan yang juga menjadi lemah. Maka tidak mungkin kita bisa melaksanakan pemilu dan menjaga kualitas demokrasi yang baik kalau hukum kita lemah. Pemilu menjadi seperti hanya tahapan-tahapan procedural saja, tapi kualitasnya rendah.

8. Perlu kita memberikan kesempatan seluas-luasnya untuk calon-calon pemimpin baru untuk berkontestasi, dan jangan dibatasi dalam kerangkeng lagi. Karena masih banyak SDM-SDM kita yang bagus. Karena kalau tidak, ini bisa menjadi ancaman terhadap sila persatuan Indonesia. Karena sudah jelas sistemnya multipartai, masyarakatnya beragam, tetapi tidak tersalurkan dengan pasangan-pasangan calon yang ada. Kalau kondisi seperti ini dipertahankan terus, maka pemilu kita tidak akan menghasilkan pemimpin, tetapi lagi-lagi hanya penguasa

9. Dibutuhkan kebersamaan dan kesatuan perspektif dari para elite dan aktor politik, sebagai elemen-elemen penting untuk mendukung bagaimana sistem demokrasi ini dapat diaplikasikan di Indonesia. Kebersamaan dan kesatuan perspektif tersebut untuk memutus mata rantai otoritarianisme, feodalisme, patronisme yang masih tumbuh subur di Indonesia karena sistem demokrasi yang bersifat universal ini sering tidak kompatibel atau tidak cocok dengan nilai-nilai budaya, khususnya di daerah.

Leave a Reply

Close Menu