Masa Depan Ekosistem Riset dan Inovasi Nasional

SIARAN PERS

FORUM DIALOG NUSANTARA
SERI DIALOG II
“Masa Depan Ekosistem Riset dan Inovasi Nasional.”
Selasa, 15 Juni 2021

Setelah pemisahan Kementerian Riset dan Teknologi dengan BRIN yang ditetapkan melalui Perpres Nomor 31 dan 33 Tahun 2021, muncul analisis peran Kemendikbudristek sebagai pembuat kebijakan, dan BRIN sebagai pelaksana kebijakan riset nasional.

Namun dalam perjalanannya terdapat berbagai interpretasi mengenai fungsi dan tata kelola BRIN, terutama karena hingga saat ini Perpres Nomor 33 Tahun 2021 belum dipublikasi oleh Kementerian Sekretariat Negara.

Diskusi dan pemetaan landasan pelaksanaan serta menggali dan mengurai permasalahan ekosistem riset dan inovasi nasional di masa mendatang, terutama setelah pemisahan BRIN dari Kemenristek serta peleburan LIPI, LAPAN, BPPT, dan BATAN menjadi BRIN, telah dilakukan oleh Forum Dialog Nusantara (FDN) dalam Seri Dialog FDN yang Kedua secara virtual pada hari Selasa, 15 Juni 2021, pukul 13.30-16.00 WIB, dengan topik “Masa Depan Ekosistem Riset dan Inovasi Nasional.”

Diskusi dibuka dengan sambutan dari Ketua Penasihat FDN, Dr.-Ing. Ilham Habibie, MBA, yang kemudian diisi oleh paparan dari para pembicara yang terdiri dari Prof. Dr. Azyumardi Azra, M.A. (Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 1998-2006); Dr. Marlinda Irwanti (Wakil Ketua Pansus RUU Sisnas Iptek DPR RI); Dr. Laksana Tri Handoko, M.Sc. (Kepala BRIN);

Adapun inti pernyataan dari para pembicara adalah sebagai berikut;

Ilham Habibie: Harus Ada Kemitraan Strategis Dengan Sektor Yang Akan Menggunakan Hasil Riset Serta Dukungan Kebijakan Pemerintah

Ketua Penasehat FDN, Dr.-Ing. Ilham A. Habibie, MBA

Ketua Penasehat Forum Dialog Nusantara, Ilham Habibie mengatakan, sudah semestinya sebagai awal pengembangan produk yang mengandalkan hasil-hasil riset perlu adanya kemitraan yang strategis dengan sektor lainnya yang akan menggunakan hasil riset. Dan sangat penting adanya dukungan kebijakan dari Pemerintah.

“Dengan adanya kemitraan strategis dengan sektor yang akan menggunakan hasil riset, merupakan awal dari pengembangan produk. Jadi aspek-aspek terpokok di dunia bisnis itu sangat penting dan memang langkah awal definisi riset sudah ada komunikasi erat antar pihak, antara sektor akademia dan industri. Dan juga perlu adanya dukungan kebijakan Pemerintah,” tutur Ilham Habibie dalam webinar yang diselenggarakan Forum Dialog Nusantara (FDN) bertemakan, “Masa Depan Ekosistem Riset dan Inovasi Indonesia,” Selasa, 15 Juni 2021.

Menurut Ilham, dalam riset ada semacam campuran atau hybrid, yaitu suatu hal, benda, atau teknologi yang menggabungkan dua buah hal, benda, atau teknologi yang berbeda, namun dengan tetap mempertahankan baik sifat, maupun karakteristik dari kedua unsur tersebut.

“Dalam riset ada semacam campuran atau hybrid, kemudian ada blended, sehingga caranya sudah kita ketahui. Namun demikian bagaimana kita bisa mengorganisir dengan inovasi terkait pihak-pihak yang terlihat jelas,” tuturnya.

“Biasanya ada 2 yang menjadi andalan, yaitu akademia dan industri. Akademia kalau di Indonesia sebagai pihak seperti dalam Tri Dharma, pertama pendidikan dan pengajaran, kedua melakukan penelitian, dan ketiga aspek sosialnya yang di dalamnya industri sebagai aspek pendukung.”

Sementara yang ketiga, adalah sosok pemerintah. Pada posisi ini, kita harus menyadari bahwa kasus di Indonesia bahwa sebagian besar universitas dimiliki oleh negara atau ada keterkaitan langsung atau tidak langsung dengan pemerintah, pun ada bisnis atau industri yang dimiliki oleh negara, BUMN. Dan mereka itu dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah.

“Kebijakan itu ada yang bukan langsung ke akademia atau industri, tetapi bisa ke arah kebijakan fiskal, moneter, lalu kebijakan negara itu akan ke arah mana untuk jangka panjang? Dan kalau kita lihat di lain negara, riset yang dilakukan arahnya jauh ke depan. Sehingga jika kita mengarahkan riset, sulit terbayangkan.”

Selanjutnya Doktor–Ingenieur lulusan Universitas Teknik München, Jerman ini menjelaskan bahwa dalam riset, sektor akademia dan sektor industri yang harus kerja sama secara erat. Dari kerja sama erat itulah akan dihasilkan riset yang berkualitas karena tahu kebutuhan yang diperlukan dalam melakukan riset dan kebutuhan yang diperlukan dalam dunia industri. Selanjutnya harus ada dukungan kebijakan dari Pemerintah.

“Alangkah baiknya sudah difasilitasi, kemudian harus didukung oleh kebijakan-kebijakan pemerintah yang harus dilakukan. Kebijakan itu ada yang bersifat strategis, arahan, semua ini harus ada kerjasama yang baik, sehingga apa yang dijalankan antar pihak di Indonesia searah, sehingga jauh dari ketidakadamanfaatannya,” jelasnya.

Terkait pertanyaan kenapa harus melakukan inovasi, karena sebenarnya bisa menjalankan apa yang sudah ada, apalagi kita sudah mempunyai yang unggul, kenapa kita harus berinovasi? Menurut Ilham, inovasi diperlukan karena banyak hal baru yang timbul atau ada hal yang tren.

“Inovasi diperlukan karena banyaknya hal yang timbul, atau ada hal yang tren dan permasalahan makro, misalnya terkait dengan iklim, Indonesia sebagai negara archipelago atau negara kepulauan, dua per tiga masyarakatnya hidup atau dekat dengan pantai di pesisir. Karena itu jika kita tidak menseriuskan pada iklim, akan mengganggu kesejahteraan masyarakat,” tandasnya. (*)

Azyumardi Azra: Pembubaran Lembaga-lembaga Riset Merupakan Malapetaka Bagi Riset di Indonesia

Prof. Dr. Azyumardi Azra, M.A. (Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 1998-2006)

Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Azyumardi Azra mengatakan pembentukan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dengan peleburan empat (4) lembaga riset, yaitu: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), serta Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan), merupakan malapetaka bagi riset di Indonesia.

“Pembubaran itu merupakan petaka bagi riset di Indonesia. Saya tidak melihat bahwa BRIN ini akan cepat melakukan take off, karena konsolidasi organisasi ini tidak mudah. Dalam waktu 2 tahun saya tidak optimis hal itu dapat diselesaikan. Saya juga menyesalkan Kemenristek yang dengan susah payah dikembangkan oleh Profesor B.J. Habibie, termasuk BPPT yang masih merupakan legasi Profesor B.J. Habibie yang luar biasa itu tidak pada tempatnya kalau harus dilebur,” tegas Azyumardi dalam webinar yang diselenggarakan Forum Dialog Nusantara (FDN) bertemakan, “Masa Depan Ekosistem Riset dan Inovasi Indonesia,” Selasa, 15 Juni 2021.

Menghadapi realitas tersebut, dirinya berharap pasca tahun 2024, Kemenristek akan dipulihkan kembali. Sebaliknya kementerian lain seperti Kemeninvestasi dapat digabungkan ke Kemenlu atau Kementerian Perindustrian dan Perdagangan.

“Saya masih berharap, pasca tahun 2024, Kemenristek dipulihkan kembali, sebaliknya Kemeninvestasi bisa digabungkan ke Kemenlu atau Kementerian Perindustrian dan Perdagangan, seperti di banyak negara-negara lain. Jadi jangan mengorbankan badan-badan riset atau lembaga-lembaga riset yang mempunyai pengalaman historis yang sudah puluhan tahun,” harap Rektor UIN Jakarta Tahun 1998-2006 ini.

Menurut Azyumardi, persoalannya bukan di lembaganya tetapi minimnya perhatian Pemerintah, khususnya anggaran terhadap lembaga-lembaga riset tersebut. “Saya melihat LIPI itu berdirinya tahun 1973, BPPT tahun 1974, LAPAN tahun 1964, Batan tahun 1958, Kemenristek tahun 1962. Sebenarnya ini lembaga yang sudah canggih, jadi menurut saya kalau kita belum bisa melakukan riset yang hebat dan inovatif yang menghasilkan inovasi yang hebat, bukan kelembagaan yang salah, yang salah itu karena masih sedikit menyediakan anggaran belanjanya, hanya 0,5% dari PDB kita. Itu salah satunya,” jelas Azyumardi.

Menurutnya, sumber dayanya cukup banyak, namun kita tidak memaksimalkannya. Diingatkan, Puspiptek juga perlu difungsikan. “Saya bila bertanya kritis Puspiptek di Serpong, semua terbengkalai. Pengembangan teknologi nuklir ke depan saya kira perlu. Jika ada yang keberatan adalah hal yang wajar saja, tetapi kita tidak bisa menggantungkan pada energi yang tidak terbarukan, harus pada energi yang sustainable.”

Oleh karena itu, menurut Azyumardi, karena sudah terlanjur terbentuk maka kita harus mengingatkan BRIN jangan sampai melebur atau membubarkan empat lembaga tadi, kemudian yang utama memainkan koordinasi dan sinkronisasi, itu bisa dilakukan.

“Yang kedua kalau bisa BRIN itu harus memperbesar anggaran, misalnya memainkan lobi yang lebih baik ke Kementerian Keuangan dan kepada Presiden. Misalnya untuk memperbesar anggaran riset kita ini. Kalau tidak begitu akan susah. Ekosistem riset dan inovasi kita akan semakin susah,” ungkapnya mengkhawatirkan.

Terkait dengan pendekatan Triple Helix yang menciptakan sinergi kerjasama dari tiga aktor yaitu akademik (A), bisnis (B), dan pemerintah (G) untuk membangun ekonomi berbasis pengetahuan (knowledge-based economy), menurutnya di Indonesia masih bertumpu pendanaannya pada Pemerintah, berbalik dengan negara-negara maju lainnya.

“Sekarang yang disebut dengan Triple Helix antara lembaga-lembaga penelitian, industri, dan pemerintah, lembaganya sangat minimal. Saya kira 80% anggaran belanja penelitian masih dari pemerintah, sisanya 20% dari pihak industri. Ini kebalikan dari negara-negara lain seperti Korea Selatan, mereka malah sebagian besar dana penelitian dari dunia industri. Tujuh puluh lima persen (75%) lebih dari dunia industri, termasuk juga negara-negara lain seperti Amerika Serikat,” paparnya.

Doktor Filsafat dari Universitas Columbia itu juga meragukan tenggang waktu yang dijanjikan oleh Kepala BRIN dalam melakukan penataan lembaga-lembaga dan melakukan sinergi dalam Triple Helix.

“Saya meragukan apakah dalam 2 tahun itu BRIN mampu melakukan sinergi dalam Triple Helix tersebut, seperti perguruan tinggi, lembaga-lembaga penelitian yang ada di satu pihak, kemudian pemerintah dan dunia industri pada pihak lain,” tuturnya meragukan.

Selain itu dirinya juga tidak setuju bila memindahkan riset ke pendidikan tinggi, karena di perguruan tinggi tidak ada atau pun kalau ada tidak terlalu banyak peneliti profesional.

“Saya kira memindahkan riset ke pendidikan tinggi itu tidak tepat, karena di perguruan tinggi itu tidak ada dan tidak terlalu banyak peneliti profesi, sementara yang banyak adalah dosen. Yang merupakan peneliti fungsional, untuk melakukan penelitian agak tidak mungkin, karena mereka sudah terbelenggu pada hal yang bersifat administratif, harus mengajar banyak ke sana ke sini, finger print, harus melaporkan BKD, tentu hal itu tidak mungkin,” pungkasnya mengingatkan. (*)

Marlinda Irwanti: Tugas BRIN Sebatas Mengarahkan dan Mensinergikan, Bukan Melebur Lembaga Riset

Dr. Marlinda Irwanti (Wakil Ketua Pansus RUU Sisnas Iptek DPR RI)

Wakil Ketua Panitia Khusus Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Marlinda Irwanti mengatakan bahwa lahirnya UU Sisnas Iptek menegaskan bahwa dibentuknya Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) sebatas mengarahkan dan mensinergikan, bukan melakukan pembubaran terhadap lembaga-lembaga riset yang telah ada.

“Perlu saya jelaskan latar belakang lahirnya UU Sisnas Iptek bahwa dibentuknya BRIN sebatas untuk mengarahkan dan mensinergikan lembaga-lembaga riset yang ada dan bukan melakukan peleburan atau pembubaran lembaga tersebut,” tutur Marlinda Irwanti dalam webinar yang diselenggarakan Forum Dialog Nusantara (FDN) bertemakan, “Masa Depan Ekosistem Riset dan Inovasi Indonesia,” Selasa, 15 Juni 2021.

Politisi Partai Golkar ini juga menjelaskan bahwa dalam undang-undang ini juga ada yang namanya dana abadi yang diambil dari APBN. Hal ini dalam rangka mengarahkan dan mensinergikan rencana induk tersebut. Penyelenggaraan iptek akan dikerjakan seperti apa. Hal itu sudah terurai di dalamnya.

“Seperti sumber dananya, sumber daya manusianya, sarana prasarananya, sumber daya ipteknya, mulai dari kemitraannya, olah teknologi, informasi, jaringan, pembinaan, dan pengawasan. Semua itu diarahkan dan disinergikan oleh BRIN yang selama ini kurang sinergis dan masih berdiri sendiri. Di sinilah tugas BRIN untuk mengatasinya,” tuturnya.

Terkait dengan penilaian bahwa istilah integrasi oleh beberapa pihak dimaknai bahwa lembaga-lembaga riset harus dilebur ke dalam BRIN, Marlinda meluruskan bahwa istilah integrasi tidak berarti meleburnya, tetapi bisa mengintegrasikan pendanaan, saran dan prasaran.

“Istilah integrasi dalam UU Sisnas Iptek tidak berarti meleburnya, tetapi bisa mengintegrasikan pendanaan, mencari sarana dan prasarana, yang berarti tidak mengharuskan kelembagaan itu untuk dilebur,” jelas Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sahid Jakarta ini.

Sehingga, agar ada otoritas, sesuai dengan Pasal 72 Marlinda menjelaskan bahwa kelembagaan pada masing-masing Iptek memperhatikan entitas yang tersisa, kewenangan iptek diberikan untuk membantu melakukan alih teknologi. Jadi agar ada otoritas memang harus terpisahkan.

Dengan demikian, integrasi tidak dalam konteks meleburkan. Bahkan pengelolaan hasil riset dan inovasi yang dilakukan oleh kelembagaan iptek untuk memperkuat kelembagaannya. Itulah otoritas dari kelembagaan iptek. Jadi jelas dalam UU No 11 tahun 2019 tentang Sisnas Iptek harus tetap ada kelembagaan-kelembagaan tersebut. Dengan demikian Pemerintah Pusat sampai daerah perlu menciptakan suasana kondusif supaya berkembangnya sistem nasional iptek.

“Satu instrumennya adalah dukungan bagi penguatan kelembagaan, bukan melebur kelembagaanya. Karena itu, jika dilebur akan semakin gemuk dan agak berat, seperti bagaimana membuat pola dari dana abadai, bagaimana supaya badan usaha ikut mendanai riset ini,” tandasnya. (*)

Laksana Tri Handoko: Tidak Akan Mungkin Ada Konsolidasi Jika Tidak Ada Peleburan

Dr. Laksana Tri Handoko, M.Sc. (Kepala BRIN)

Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Laksana Tri Handoko merujuk pada Peraturan Presiden Nomor 33 tahun 2021, yang merupakan perluasan dan pembaruan dari Perpres 74 tahun 2019 tentang BRIN, mengatakan bahwa tidak mungkin ada konsolidasi jika tidak ada peleburan lembaga-lembaga riset yang ada.

“Jika kita melihat Peraturan Presidennya, sudah jelas bahwa tidak akan mungkin ada konsolidasi jika tidak ada peleburan. Karena kita sudah 50 tahun lebih main koordinasi, namun sebenarnya tidak terjadi koordinasi. Karena itu, lembaga pemerintah tidak akan ada koordinasi jika tidak ada peleburan,” tutur Laksana dalam webinar yang diselenggarakan Forum Dialog Nusantara (FDN) bertemakan, “Masa Depan Ekosistem Riset dan Inovasi Indonesia,” Selasa, 15 Juni 2021.

Mantan Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) ini juga menegaskan bahwa dirinya akan mengintegrasikan, yang berarti melakukan peleburan terhadap seluruh lembaga-lembaga riset. Sementara peleburan yang dilakukan terkait dengan entitas-entitas kelembagaan pada masing-masing lembaga riset.

“Sudah tegas kita integrasikan, yang berarti kita lebur. Sedangkan yang kita lebur itu adalah entitasnya, bukan tugas dan fungsinya. Tugas dan fungsinya itu kita pertahankan, karena tugas dan fungsi inilah yang penting,” tegasnya.

Peleburan itu tidak hanya dilakukan terhadap 4 (empat) lembaga riset, seperti; LAPAN, LIPI, BPPT dan BATAN, tetapi terhadap seluruh Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) yang ada di kementerian, yaitu eselon I, II dan III, sehingga tidak akan terpencar.

Sementara terkait dengan anggaran, menurutnya, karena ini lembaga pemerintah maka ketika harus dilakukan maka harus dilaksanakan juga. Jika Menteri Keuangan setuju dan Presiden setuju dipindah, maka aparat yang ada harus siap sedia. Karena hal ini bukan persoalan lembaganya aparat sipil negara (ASN), karena itu ASN-nya pasti mengikutinya.

“Saya sebagai Kepala LIPI yang terakhir, kalau harus dipindahkan ya dipindahkan, karena Iptek itu tidak memakan waktu, sehingga proses integrasi ini dapat memberikan dampak yang memang diharapkan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.”

Terkait dengan waktu yang diperlukan untuk melakukan konsolidasi, menurut Kepala BRIN ini, dilakukan sampai tahun 2021. “Yang saya rencanakan ada 2 tahap, tahap pertama bulan-bulan ini atau kita harapkan bulan Juli 2021 sudah mulai. Tahap kedua, di bulan-bulan Oktober. Tetapi intinya, semua secara total, yaitu semua sumber daya dimulai di tahun anggaran 2022.”

Menanggapi penilaian bahwa peleburan dari lembaga-lembaga riset ke BRIN akan menyulitkan pergerakannya, menurutnya justru sebaliknya. “Jika peleburannya dilakukan secara glondongan atau keseluruhan dan utuh, maka justru akan mudah, karena tinggal memindahkan di atas komputer,” jelasnya.

Kemudian prioritasnya pada awal ini adalah periset dan unitnya tidak berdampak. Dengan demikian berarti pusat-pusat penelitian itu tidak berdampak, sehingga yang berdampak hanya eselon I (satu) saja.

Terkait dengan permasalahan fundamental dalam riset di dalam negeri, Laksana menjelaskan ada dua.
“Problem fundamental riset di negeri ini sebenarnya ada dua, yang pertama riset di negeri ini didominasi oleh Pemerintah. Tentu saja ini akan menjadi problem, karena prestasi di luar negeri itu riset harus banyak, tetapi banyak itu harus dilakukan oleh swasta.”

Bahkan, lanjut Laksana, di banyak negara, Pemerintah itu tidak menjadi pelaksana langsung, kalau toh ada lembaga riset Pemerintah itu hanya yang bersifat advance-nya, yang tidak mungkin swasta masuk.

“Problem kedua, sudah didominasi Pemerintah kemudian critical mass-nya rendah. Maksud dari critical mass-nya rendah itu kalau ditotal sumber daya manusianya, infrastrukturnya, anggarannya, itu besar sekali. Untuk anggaran yang terakhir sekitar 27 triliun, untuk tahun 2016 sekitar 26 triliun. Tetapi begitu kita masuk ke ranah riil, grup riset dan teman-teman, mereka merasa kurang,” paparnya.

“Itu yang disebut critical mass-nya kurang. Jika ditotal besar, tetapi karena dipisah-pisah akhirnya semua hanya dapat remah-remah, sehingga tidak bisa berkompetisi. Padahal riset itu adalah kompetisi. Sehingga seolah-olah jumlahnya banyak, tetapi tidak ada hasilnya,” pungkasnya. (*)

Leave a Reply

Close Menu