Perang masa depan sangat bergantung pada teknologi yang membutuhkan ilmuwan dan perangkat industri untuk menghadapi ancaman keamanan. Industri pertahanan merupakan ujung tombak penguasaan teknologi dan kemandirian bangsa dalam mengembangkan sistem pertahanan, dan Undang Undang Nomor 16 Tahun 2012 Tentang Industri Pertahanan diharapkan mampu mengatasi permasalahan tersebut. Dari sisi praktisi, kalangan industri masih menghadapi berbagai kendala seperti ekosistem industri pertahanan yang masih lemah, anggaran litbang yang rendah, dan pembiayaan investasi yang terbatas.
Diskusi dan memetakan landasan pelaksanaan dan permasalahan yang dihadapi dalam pembangunan industri dan teknologi pertahanan, telah dilakukan oleh Forum Dialog Nusantara (FDN) dalam Seri Dialog III FDN yang dilakukan secara virtual pada hari Kamis 2021 jam 15.30-17.00 WIB, dengan tema; “Pembangunan Industri dan Teknologi Pertahanan Nasional.”
Sambutan oleh
Dr. Ing. Ilham Akbar Habibie, MBA
(Ketua Dewan Penasihat FDN)
Drs. Utut Adianto
(Wakil Ketua Komisi I DPR RI)
Letjen. TNI (Purn.) Agus Widjojo
(Gubernur Lemhannas RI)
Edy Prasetyono Ph.D.
(Pengamat Pertahanan – Staf Pengajar UI)
Adapun inti pernyataan dari pembicara sebagai berikut;
Ilham Akbar Habibie: Ke Depan, Bukan Siapa Yang Menemukan Tetapi Siapa Yang Dapat Menerapkan Teknologi
Ketua Dewan Penasehat Forum Dialog Nusantara, Ilham Akbar Habibie mengatakan bahwa ke depan kita tidak akan mungkin untuk merahasiakan teknologi, sebaliknya pihak lain juga demikian. Karena itu, ke depan juga akan berlaku bahwa pengetahuan dan teknologi itu tidak lagi siapa yang menemukannya tetapi siapa yang mampu untuk menerapkannya.
“Saya mempunyai bayangan ke depan bahwa untuk merahasiakan teknologi, makin lama akan semakin sulit. Bahkan soal pengetahuan dan teknologi, bukan lagi siapa yang menemukan, tetapi siapa yang dapat menerapkannya. Sehingga implementasi itu bisa dikatakan sama penting, bahkan mungkin lebih penting dari penemuannya,” tutur Ilham dalam sambutan webinar seri III bertemakan, “Pembangunan Industri dan Teknologi Pertahanan Nasional,” yang diselenggarakan Forum Dialog Nusantara, Kamis, 12 Agustus 2021.
Dengan demikian, untuk mengenal teknologi memang relatif mudah, tetapi untuk menerapkannya, menjalankannya, mengajarkannya, tentunya kita akan menghadapi kesulitan di masa datang. Dan itulah peranan kualitas dan kuantitas SDM, agar kita tetap menjadi kuat untuk mempertahankan arah bangsa ini.
Selanjutnya Ilham mengingatkan bahwa yang terjadi di dunia ini adalah komersialisasi terhadap teknologi, konsekuensinya teknologi yang maju akan mempengaruhi produk-produk yang ada.
“Memang yang terjadi di dunia itu, ada semacam efek dari komersialisasi teknologi, sehingga teknologi yang sangat maju itu memang akan ada pengaruhnya pada produk-produk, tetapi karena serapannya sangat kuat dan luas maka menjadi murah,” jelasnya.
Ilham juga mengungkapkan, nantinya yang kelihatan di seluruh dunia adalah tren terkait dengan keterbukaan, keterbukaan teknologi, open source. “Saat itu yang kelihatan di seluruh dunia adalah tren terkait dengan keterbukaan, berupa keterbukaan teknologi, open source. Saya kira buat kita trend yang terjadi dalam dunia teknologi IT itu dapat menjadi manfaat bagi kita sebagai bangsa yang bisa menampakkan teknologi yang sangat kuat. Hal inilah yang akan menjadi PR kita bersama,” tuturnya.
Dari segi literasi teknologi khususnya untuk wakil rakyat, menurut Ilham perlu ditingkatkan. Dengan demikian, sebenarnya kita mencari solusi di tempat-tempat yang terisolasi, namun dengan kemampuan yang dimiliki tersebut mereka mengerti teknologi lebih mendalam. “Sehingga mereka juga bisa berkontribusi dari dalam dengan keadaan di tempat itu. Hal inilah diperlukan penyusunan strategi yang lebih matang,” tandasnya.
Dengan demikian, lanjutnya, literasi teknologi atau didikan teknologi itu penting untuk memaksimalkan hasil dan keluaran dari upaya kita untuk melakukan inovasi. Karena kalau tidak, maka kita tidak bisa terlibat secara maksimal.
“Banyak sekali yang kita lihat terkait human expression, kita harus berimprofisasi. Berimprofisasi dengan keadaan yang tidak kita duga sebelumnya. Dan kemampuan itu akan lebih baik jika kita mempunyai suatu dasar yang mampu mencapai pengertian dan pengalaman teknologi,” terangnya.
Dengan demikian, kita harus melihat begitu pentingnya teknologi informasi dan komputer (TIK), karena kita sudah hidup di jaman hiper informasi. Sehingga untuk mendapatkan informasi begitu mudahnya, dengan harga yang murah, dan dapat kita peroleh dengan data yang cukup besar atau banyak.
“Beberapa waktu lalu saya membaca artikel terkait dengan source intelegence. Di situ sudah kelihatan bahwa ke depan data yang besar dapat diperoleh dengan murah dan mudah. Hal itu terjadi dengan adanya satelit-satelit kecil yang dapat digunakan umat manusia secara umum dengan murah dan mudah, sehingga rahasia negara tidak lagi bisa ditutupi. Begitupun mereka atau negara lain bisa melihat kita,” tandasnya. (*)
Utut Adianto: Perlu Adanya Political Will Dalam Pembangunan Teknologi Pertahanan Nasional
Wakil Ketua Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) Utut Adianto mengatakan, dalam membangun teknologi pertahanan nasional dibutuhkan adanya polical will atau kemauan politik dari pemerintah yang kuat terhadap upaya pengembangan teknologi pertahanan.
“Terkait dengan pengembangan teknologi pertahanan, yang belum ok adalah keberpihakan dari pemerintah! Meskipun saya tidak mengatakan jelek, sehingga wilayah optimasinya adalah keberpihakan, sementara keunggulan masih terlalu jauh,” tutur Utut dalam webinar seri III bertemakan, “Pembangunan Industri dan Teknologi Pertahanan Nasional,” yang diselenggarakan Forum Dialog Nusantara, Kamis, 12 Agustus 2021.
Sementara mengenai peranan DPR dalam penganggaran dan pengawasan dalam dukungan riset industri dan teknologi pertahanan sudah sepenuhnya memberikan dukungan. “Sekali lagi kalau dari konsep anggota Komisi I, semua sepakat untuk memperkuat TNI. Kalau pengawasannya sudah ok,” tandasnya.
Menurut Utut, pada prinsipnya, semua fraksi sepakat ingin mempunyai TNI yang kuat, maka kita akan memiliki teknologi pertahanan yang kuat, tetapi untuk ke sana syarat obyektifnya belum ada, terutama ketersediaan anggaran yang relatif kecil.
“Jadi kalau soal industri pertahanan hanyalah cerita manis saja, karena prioritasnya tidak pada pengembangan teknologi pertahanan. Karena sesungguhnya kita ini republik sosialis sebagai wujud keberpihakan negara pada masyarakat, tetapi kita tidak berani menyebut itu karena biasanya nanti dikaitkan dengan komunis. Dalam politik itu, keberpihakan ada pada masyarakat,” jelasnya.
“Di Komisi I keberpihakannya jelas, saya sendiri dari Fraksi PDIP dengan tutup mata sudah jelas, misalnya ada pemilihan Panglima TNI, kita dilarang untuk berdebat dengan Panglima TNI, maka kita tidak akan melakukan keberatan,” tandasnya. (*)
Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo: Teknologi Pertahanan Harus Jadi Bagian dari Teknologi Nasional
Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia (Lemhannas RI) Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo mengatakan, bahwa teknologi nasional merupakan cakupan besar dari teknologi pertahanan, karena itu teknologi nasional harus mampu memenuhi kebutuhan seluruh fungsi dimensi nasional.
“Teknologi Pertahanan Nasional itu tidak sepenuhnya meliputi cakupan teknologi nasional. Teknologi pertahanan harus merupakan bagian rincian turunan dari teknologi nasional. Teknologi nasional mempunyai tuntutan untuk memenuhi kebutuhan dalam seluruh fungsi dimensi nasional dan segala sesuatu yang bersifat untuk teknologi pertahanan berawal dari bidang nasional,” jelas Agus dalam webinar seri III bertemakan, “Pembangunan Industri dan Teknologi Pertahanan Nasional,” yang diselenggarakan Forum Dialog Nusantara, Kamis, 12 Agustus 2021.
Selanjutnya Agus menjelaskan bahwa industri pertahanan nasional merupakan pilar dan bangunan utama bagi daya saing ekonomi nasional. Aspek tingkat nasional tersebut mencakup pada saat masa damai dan masa perang, sedangkan pertahanan hanya berfokus pada masa perang. Oleh karena itu, sebelum terjadi perang, industri dan teknologi harus menjadi kompetitif serta produktif pada masa damai.
“Segala sesuatu, termasuk industri pertahanan nasional, sepatutnya dipertimbangkan secara nasional kemudian dijabarkan. Segala sesuatu hendaknya dipikirkan dari nasional terlebih dahulu kemudian dijabarkan untuk kepentingan masing-masing turunannya,” kata Agus.
Dengan cara demikian, perlu adanya persiapan diri yang matang dengan keunggulan teknologi pertahanan yang kita miliki. “Jadi bagaimana upaya untuk mempertahankan itu, sehingga jangan sampai industri dan teknologi belum apa-apa sudah kita tunjukkan untuk perang. Hal itu justru akan menjadikan high cost dan ongkos pemeliharaan yang cukup tinggi,” jelasnya.
Maka inilah pentingnya kita berpikir makro terlebih dahulu, dengan memulai dari paradigma nasional terlebih dahulu, kemudian baru ke tataran pertahanan.
“Hal ini merupakan suatu kebiasaan yang kita lupakan sekarang, contohnya bela negara, sebenarnya bela negara itu nasional, elemen pertama bela negara adalah cinta tanah air, cinta tanah air itu bukan fungsi menteri pertahanan saja,” jelasnya.
Kemudian yang kedua adalah melakukan pembelaan terhadap Pancasila, dengan demikian bela negara adalah kepentingan nasional, hanya seperlima dari kepentingan bela negara, yaitu membangun kemampuan awal dalam fungsi pertahanan.
“Itu memang merupakan binaan Kementerian Pertahanan dalam rangka pembangunan komponen cadangan, sedangkan yang lain-lainnya kebanyakan adalah fungsi pendidikan. Bagaimana untuk penanaman untuk membangun kekuatan bangsa,” tandasnya. (*)
Edy Prasetyono: Agar Tidak Mubazir, Indonesia Harus Tentukan Tingkat Teknologi Yang Akan Dikembangkan
Pengamat masalah Pertahanan dari Universitas Indonesia (UI) Edy Prasetyono mengatakan bahwa untuk meningkatkan efisiensi dan menghindari kemubaziran, Indonesia perlu memfokuskan pada tingkat dan jenis teknologi pertahanan yang akan dipilih untuk dikembangkan.
“Kalau potensi offset-nya sangat besar dan itu masih sulit untuk dipenuhi, maka Indonesia harus menentukan tingkat teknologi apa dan jenis teknologi apa yang akan dikembangkan, sehingga offset-nya tidak mubazir, tidak fokus,” tutur Edy dalam webinar seri III bertemakan, “Pembangunan Industri dan Teknologi Pertahanan Nasional,” yang diselenggarakan Forum Dialog Nusantara, Kamis, 12 Agustus 2021.
Edy berpendapat demikian karena melihat belum adanya keputusan politik tingkat nasional yang menjadikan potensi offset milyaran dollar. “Kalau kita kembalikan mengenai teknologi pertahanan sekarang belum menentukan prioritas ekonominya apa, sehingga dari potensi offset sekian milyar dolar tersebut akan difokuskan ke mana, mestinya itu menjadi keputusan politik di tingkat nasional,” jelasnya.
Terkait dengan potensi offset yang akan terjadi terhadap pengadaan teknologi persenjataan Indonesia, dirinya mengingatkan hal itu tergantung kemampuan supplier dalam memenuhi kebutuhan persenjataan tersebut.
“Offset juga tergantung kepada, apakah sekian puluh persen itu akan dapat dipenuhi oleh suppliernya. Kalau itu teknologi tinggi, maka suppliernya akan enggan memberikan temuan teknologinya, karena negara lain membeli. Ini merupakan pilihan-pilihan di dalam membangun berbagai fungsinya untuk pertahanan,” paparnya.
Karena itu, lanjutnya, kita harus memperhatikan kemampuan ekonomi Indonesia sehingga akan memiliki kekuasaan dan kemandirian untuk membangun unsur pertahanan.
“Jadi, karena itu pertama-tama kita harus memperhatikan kemampuan ekonomi kita agar kita juga punya kekuasaan untuk membangun sebuah unsur pertahanan, seperti yang kita inginkan dan kita punya cukup pilihan-pilihan untuk menghadapi ancaman-ancaman dimasa depan,” tandasnya. (*)