STRATEGI RESIPROKAL MENANGKAL KEPONGAHAN ‘CRAZY COWBOY’ TRUMP

STRATEGI RESIPROKAL MENANGKAL KEPONGAHAN ‘CRAZY COWBOY’ TRUMP

 

Justino Djogo, MA.MBA, Direktur Eksekutif ,Co-Founder Forum Dialog Nusantara.

 

Yiiiihaaaa…,” lengking si Cowboy New York, menyerukan dimulainya Perang Dagang Dunia. Si Cowboy, tentu kita tahu bahwa Presiden Trump yang kita maksud, mengumumkan tarif bea masuk barang ke negaranya. Sebutannya “tarif resiprokal (tarif timbal balik) berupa pembatasan perdagangan yang diberlakukan satu negara (dalam hal ini AS), terhadap negara lain.

Tarif yang dicanangkan Trump atas nama “respons” terhadap tindakan serupa yang sudah dilakukan oleh negara lain terhadap AS, tujuan tersuratnya adalah untuk menciptakan keseimbangan dalam perdagangan antarnegara. Tapi apa iya seimbang, mengingat keputusan Trump tak hanya bernuansa proteksionisme, tetapi juga mengguncang ekonomi global?

Lihat saja gaya cowboy-nya di ranah perdagangan dunia. Kadang ia menembak dengan peluru berupa tarif impor tinggi, dan juga mencabut komitmen dagang multilateral. Atas nama kepentingan nasionalnya, tindakan AS telah  mengancam mitra dagang tradisional, sekaligus mengubah peta dagang dunia.

ASEAN Untung, atau Malah Buntung?

Tak seremeh itu, membalas tarif resiprokal dengan tarif timbal balik. Tak semudah itu pula AS menerima negosiasi dari negara-negara yang diduga bakal terdampak, seperti India, Argentina, Indonesia, Thailand, Arab Saudi, Brasil, Turki, serta Vietnam dan Thailand. Dua negara terakhir dianggap  memiliki “PDB paling berisiko”. Tapi China mungkin paling kesal dengan polah Trump menaikan tarif bea masuk. Sebab, ternyata diam-diam Trump mengincar Tiktok. Tenggat waktu keputusan China untuk melepas atau mempertahankan Tiktok, adalah tanggal 5 April 2025. Mepet waktunya. Diduga, China bakal menolak, dan Tiktok yang juga diincar oleh Jeff Bezos, bakal dilarang di AS.

Tak heran ketika negara-negara yang kena getok tarif resiprokal AS masih mikir-mikir, China sudah bereaksi:  mengenakan tarif retaliasi  sebesar 34% kepada semua produk impor AS  (4/3/2025) sejak 10 April 2025 mendatang. Alasan China, ”Praktik AS ini tidak sejalan dengan aturan perdagangan internasional (WTO), sangat merugikan hak dan kepentingan sah China, dan merupakan praktik intimidasi unilateral yang khas,” bunyi pernyataan Komisi Tarif Dewan Negara China, dilansir dari CNN.

Lain lagi dengan Singapura yang kena tarif resiprokal 10% dari AS. Menteri Perdagangan dan Wakil Perdana Menteri Singapura, Gan Kim Yong, mengatakan bahwa Singapura tidak akan memberlakukan tindakan balasan terhadap tarif dasar 10% dari AS. Sebab, ada langkah lain yang tersedia di bawah Perjanjian Perdagangan Bebas AS-Singapura.

“Kami telah memutuskan untuk tidak melakukannya, karena memberlakukan bea masuk pembalasan hanya akan menambah biaya impor kami dari AS,” katanya. Singapura agak santai, karena  memang sudah sejak lama ia bertindak sebagai “perantara dagang”. Mengerti maksud saya khan?

Vietnam yang bergantung pada impor AS —khususnya LNG dan mobil, merespons kebijakan Trump dengan menetapkan tarif 0% untuk impor AS ke Vietnam. Diwakili oleh Bui Thanh Son, salah satu dari beberapa wakil perdana menteri Vietnam: membuat kesepakatan untuk mengurangi tarif barang-barang AS menjadi 0%. (https://www.businessinsider.com/vietnam-ready-negotiate-us-import-tariffs-trump-2025-4?utm_source=chatgpt.com)

Geoekonomi dan Geostrategi, Adakah Peluang bagi Indonesia?

Hendaknya kita membaca “kado Lebaran” yang tak elok dari Trump ini, tak hanya menggunakan kacamata ekonomi. Melainkan secara geopolitik.

Pertama,  yang merasakan kenaikan harga tarif resiprokal 32% untuk produk Indonesia yang masuk ke AS, adalah konsumen AS. Sebab harga barang kita di sana menjadi lebih mahal 32%. Kita sebagai pengekspor, tak membayar kenaikan tersebut. Tetapi, kenaikan harga tersebut akan membuat konsumen AS enggan membeli. Jika barang kita tak laku di AS, maka produksi barang tersebut menurun di Indonesia. Akibatnya, pabrik kita merugi, dan dampak terburuk adalah PHK karyawan. Artinya: jumlah pengangguran di Indonesia bisa bertambah. Bukankah secara geoekonomi: hal ini merugikan Indonesia?

Kedua, Zhang Monan dari China-US Focus menyoroti bahwa kebijakan tarif resiprokal ini menandai pergeseran strategis dalam kebijakan perdagangan AS, dari keterlibatan multilateral, menuju perjanjian bilateral atau regional. Hal ini mencerminkan upaya strategis untuk mendefinisikan ulang perdagangan internasional, dengan tujuan akhir menempatkan AS sebagai arsitek utama paradigma perdagangan global yang baru.

https://www.chinausfocus.com/finance-economy/trumps-reciprocal-tariffs-reshape-global-trade?utm_source=chatgpt.com

​Artinya, kebijakan Trump itu menandakan bahwa AS mulai mengubah geostrategi dagangnya: ogah main rame-rame (multilateral) lagi, dan lebih milih negosiasi dagang satu persatu (bilateral/regional). Tujuannya? Ya supaya AS bisa mengatur alur permainan dagang, dan bisa jadi bos besar di panggung dagang dunia.

Ketiga, peluang bagi Indonesia untuk memperluas ekspor. Betul bahwa AS adalah salah satu negara tujuan utama ekspor RI. Dari data Badan Pusat Statistik (BPS) Jumat (4/4/2025) menyebutkan bahwa ekspor nonmigas Indonesia ke AS pada Angka total ekspor Indonesia ke AS pada Januari-Februari 2025 tercatat US$ 4,677 miliar.

Angka tersebut didapat antara lain dari 10 produk ekspor RI yaitu, Mesin dan perlengkapan elektrik: (US$4,18 miliar), pakaian (rajutan) dan aksesorinya  (US$2,48 miliar), alas kaki (sepatu) US$2,39 miliar, pakaian (bukan rajutan) dan aksesorinya (US$2,12 miliar), lemak dan minyak hewani/nabati (US$1,78 miliar), karet dan barang dari karet (US$1,685 miliar), perabotan dan alat penerangan: (US$1,432 miliar), ikan dan udang (US$1,09 miliar), mesin dan peralatan mekanis (US$1,01 miliar), olahan dari daging dan ikan (US$788 juta).

Kebijakan Trump, bisa menjadi peluang untuk dimanfaatkan Indonesia dalam situasi perang dagang global. Peluang pertama, dengan memperluas akses pasar ekspor ke negara-negara yang terdampak tarif tinggi dari AS, seperti Cina dan Uni Eropa. Indonesia juga bisa menawarkan jalur perdagangan bebas atau zero tariff corridor sebagai strategi diplomasi dagang.

Peluang kedua, peningkatan investasi dalam negeri di sektor-sektor substitusi impor dan ekspor berdaya saing tinggi —seperti elektronik, furniture, dan makanan olahan— dapat didorong pertumbuhannya. Contohnya, Arab Saudi yang menjadi importir produk minyak sawit dan ban karet dari Indonesia. Kondisi guncangan ekonomi global ini hendaknya menjadi momentum bagi Indonesia untuk:  memperkuat diversifikasi pasar ekspor, mempercepat hilirisasi industri, serta menarik investasi dari negara-negara yang tengah mencari alternatif rantai pasok. (*)

 

 

Leave a Reply

Close Menu