Penulis: Justin Djogo M.A, MBA (Direktur Kajian Luar Negeri Balitbang DPP Partai Golkar).
Prinsip memberi dan menerima adalah prinsip diplomasi – memberi satu dan menerima sepuluh. (Mark Twain).
Ada saat-saat dalam sejarah ketika sebuah bangsa tidak lagi perlu berteriak untuk didengar. Ia cukup berjalan, dan dunia menoleh. Indonesia sejak 70 tahun lalu sudah menjadi pusat perhatian diplomasi dunia. Kini, nampaknya kita kembali berada di ambang masa gemilang diplomasi itu.
Di antara tarikan dua kutub: dunia Barat yang pragmatis dan dunia Timur yang sarat simbol, Jakarta tak lagi menjadi pelintas lalu; melainkan menjadi simpul percakapan. Di forum-forum multilateral, dari G20 hingga ASEAN, BRICS, hingga konflik di Gaza, nama Indonesia harum disebut-sebut karena peran aktifnya menengahi silang kepentingan: antara perang dan damai, ekonomi dan moral, kekuasaan dan keadilan. Presiden Prabowo dan para bapak ibu pendiri Republik ini, sudah membuktikan: bahwa Indonesia dihargai di meja diplomasi internasional.
Disegani Blok Barat
Dunia Barat lama memandang Indonesia dengan kacamata yang bias. Dulu, mereka memandang negeri ini sebagai “negara berkembang dengan potensi besar” sebuah eufemisme untuk “belum matang, tapi berguna”.
Kini nada itu berubah. Amerika Serikat dan Uni Eropa memperlakukan Indonesia bukan lagi sebagai objek bantuan, melainkan sebagai mitra negosiasi. Presiden Joe Biden menyebut Indonesia “a critical partner in maintaining the Indo-Pacific balance.” Kata critical di sini bukan basa-basi diplomatik, tapi pengakuan: tanpa Jakarta, rantai stabilitas Indo-Pasifik akan renggang.
Kita pun menyadari, bahwa kedekatan itu bukan tanpa ironi. Barat menyukai Indonesia yang demokratis, tapi juga membutuhkan Indonesia yang stabil. Namun stabilitas itu kadang menuntut ketegasan yang bukan sikap liberal. Toh, sejak masa Presiden Soekarno, politik luar negeri Indonesia menolak dikurung oleh tafsir kebebasan versi Barat.
Kita sepakat menyebut sikap itu sebagai ‘politik bebas aktif’—cara sebuah bangsa menegaskan jati dirinya dengan keputusan moral sendiri. Bukan lewat ide yang dipinjam dari orang lain. Barat menghormati (mungkin juga gentar pada) Indonesia, justru karena ketegasan semacam itu.
Di tengah blok-blok ideologis yang makin mengeras, Jakarta memainkan peran sebagai penengah yang rasional: tidak mengutuk, tapi tidak juga memuja. Itu adalah bentuk paling halus dari berkuasa. Kita pernah melihat salah satu bentuk terbaik dari kekuasaan halus itu pada Konferensi Asia Afrika (KAA) 1955.
Bandung menjadi tuan rumah bagi sebuah peristiwa yang mengguncang struktur dunia pascakolonial. Dari kota kecil di tanah Priangan, lahir semacam piagam moral yang menegaskan hak bangsa-bangsa untuk menentukan nasib sendiri.
Dunia Barat menatap dengan campuran kagum sekaligus kuatir. Bagaimana mungkin sebuah negara muda, yang baru sepuluh tahun merdeka, bisa mempersatukan 24 pemimpin Asia dan Afrika dalam satu meja perundingan? Itu pun tanpa patron Barat maupun Soviet. Dalam forum itu, Indonesia tak berbicara sebagai perantara, tapi sebagai inisiator. Bukan murid diplomasi Eropa, melainkan pencipta arah baru politik global.
Lalu di masa sesudahnya, diplomasi Indonesia melalui Menlu legendaris, Ali Alatas, kembali menunjukkan keteguhan itu, saat menjadi mediator dalam konflik Kamboja. Selama satu dekade lebih, Jakarta memainkan peran sabar, sebagai penengah antara pihak-pihak yang saling curiga. Hingga buah manis dipetik dalam Perjanjian Paris 1991, menandai berakhirnya perang saudara di negeri itu. The Guardian mencatat dalam obituari mengenang sang Menlu RI, “Ali Alatas berhasil menjembatani perdamaian bersejarah di Konferensi Internasional Paris pada 1991, mengakhiri konflik dengan Khmer Merah.” https://www.theguardian.com/world/2008/dec/17/ali-alatas-obituary-indonesia-cambodia

Indonesia Sahabat bagi Timur Tengah
Di Timur Tengah, tempat bagi ruang politik yang tak pernah sederhana: agama, minyak, dan geopolitik berpadu dalam labirin yang sering menelan akal sehat. Tapi Indonesia, dengan mayoritas Muslim moderatnya, mendapat kepercayaan sebagai sahabat yang tak berpihak tapi juga tak netral.
Sejak lama Indonesia dipercaya oleh Mesir, dihormati Arab Saudi, digantungi harapan oleh Palestina, dihormati di Lebanon,dan menjalin kerja sama erat dengan Yordania. Dalam banyak bidang, Indonesia dicintai oleh negara-negara Timur Tengah. Ketika Indonesia mendukung Palestina, itu bukan sekadar warisan sejarah Bandung 1955, tapi refleksi moral.
Diplomasi Indonesia berpijak pada pandangan sufistik: hubungan antarbangsa bukan transaksi, melainkan amanah. Dalam pandangan Ibn Arabi, manusia sejati adalah cermin bagi Tuhannya. Dan negara, sebagai perpanjangan kehendak manusia, harus mencerminkan nurani kolektif itu. Karena itu, Indonesia tidak sedang berbicara untuk Islam semata, ketika menyerukan gencatan senjata di Gaza. Melainkan untuk kemanusiaan yang universal.
Kontingen Garuda (Konga) sebagai Pasukan Perdamaian (Peacekeeper) PBB menjadi simbol kehadiran moral Indonesia di medan konflik dunia. Dari Sinai hingga Kongo, mereka bertugas bukan sebagai penakluk, tapi penjaga peradaban. Diplomasi militer kita bekerja melalui kepercayaan: bahwa negara lain merasa aman bersama tentara dan pasukan kita.
Ketika Riyadh dan Abu Dhabi berbicara tentang diversifikasi ekonomi, mereka menengok ke Jakarta: pada stabilitas politik dan tenaga muda yang kreatif. Kerja sama Indonesia–Yordania dalam isu pengungsi Suriah dan Palestina menjadi contoh nyata: Jakarta hadir sebagai suara hati di tengah turbulensi politik Timur Tengah.
Soft Power Diplomacy
Mengapa Indonesia bisa? Karena dalam “DNA diplomasi” Indonesia, mengalir “takdir geopolitik” yang kuat: letak kita di simpang samudra dan jalur perdagangan global, menjadikan Indonesia poros strategis antara kekuatan maritim Barat dan kontinental Timur. Dan kita sadar bahwa menjadi “pusat dunia” bukan berarti menjadi medan perebutan. Melainkan menjadi pengatur irama.
Memangnya Indonesia tak bisa menabuh gendang, dan biarkan bangsa lain menari mengikuti iramanya? Itulah perbedaan antara negara yang diperebutkan, dengan negara yang menentukan arah perebutan.
Dari masa ke masa, intelijensia diplomatik Indonesia —baik yang formal maupun yang senyap— mengolah kesadaran ini menjadi strategi: menyerap tekanan tanpa hancur, menyalurkan ancaman menjadi peluang. Bung Karno membuktikan itu dalam kasus mata-mata CIA, Allen Pope, tahun 1958. Setelah empat tahun Pope masuk bui, Presiden Soekarno dengan cerdas memainkan kartu diplomasinya: “menukar” hukuman mati sang mata-mata dengan 10 pesawat angkut Lockheed C-130 Hercules. Amerika menyerahkannya kepada Indonesia pada 18 Maret 1960, untuk operasi Trikora. Itulah diplomasi intelijen yang elegan—keras di tangan, lembut di kepala.
Kekuatan semacam itu dikenal dalam teori hubungan internasional sebagai soft power, yang oleh Profesor Joseph S. Nye Jr dari Harvard yang juga mantan pejabat tinggi Departemen Pertahanan AS disebut. “kemampuan untuk mendapatkan apa yang kamu inginkan, melalui daya tarik, dan bukan paksaan.”
Lawannya, hard power, dipraktikkan oleh negara-negara seperti Amerika Serikat atau Rusia ketika menggunakan kekuatan militer dan sanksi ekonomi untuk memaksa kepatuhan—seperti invasi AS ke Irak (2003) atau Rusia ke Ukraina (2022). Meski Amerika juga memakai soft power, antara lain melalui industri film Hollywood maupun Netflix, yang secara halus mempromosikan nilai-nilai “kepahlawanan” maupun liberalismenya.
Soft power Jepang, kita tahu, dilakukan melalui teknologi dan kedisiplinan. Dan Korea Selatan, punya Blackpink, BTS dan K-Pop lainnya sebagai soft power budaya pop. Indonesia, dengan cara yang lebih senyap, menyalurkan soft power lewat moralitas dan kebijaksanaan: melalui diplomasi “satu suara” di ASEAN, lewat kesediaan menjadi tuan rumah untuk forum yang sering kali alot dan panas. Bahkan lewat cara publiknya mengelola perbedaan agama dan politik secara damai. Bukankah hanya Indonesia yang punya Bhinneka Tunggal Ika yang sanggup menyatukan 1.340 suku bangsa?
Kembalinya Macan Asia
Sejak awal dekade 1990-an, media ekonomi dunia seperti The Economist dan Asiaweek menjuluki Indonesia sebagai “macan Asia baru”, karena pertumbuhan ekonomi pada era Orde Baru itu melesat naik. Krisis 1998 dan reformasi, justru membuat sang Macan “ketiduran” hampir tiga dekade. Tapi kini, di bawah pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, kita boleh yakin dan berharap bahwa Indonesia sang Macan Asia mulai bangkit. Dan kita tahu, “Macan” Indonesia bukan yang mencakar, namun membuat lawan “berhitung”. Diplomasi Indonesia, baik dalam bidang perdamaian, budaya, maupun diplomasi militer, Indonesia tak lagi dipandang sebelah mata.
Indonesia bisa menjadi “Episentrum Demokrasi”, karena kita punya strategi diplomasi berdasarkan Pancasila. Dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa” Indonesia membangun kerukunan dan perdamaian dunia yang berkelanjutan dengan menjunjung tinggi toleransi dan saling menghargai antarbangsa, tanpa memandang perbedaan agama atau keyakinan. Dengan “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”, diplomasi Indonesia secara aktif berperan dalam isu-isu kemanusiaan global dan penegakan HAM, serta menolak intervensi asing dalam urusan domestik negara lain.
Sila “Persatuan Indonesia” mendasari upaya diplomasi untuk menjaga integritas nasional dan memperkuat posisi Indonesia di panggung global. Antara lain melalui partisipasi aktif dalam organisasi multilateral seperti G20, APEC, PBB, ASEAN dan BRICS, tanpa ikut dalam aliansi pertahanan dengan blok manapun. Sila keempat Pancasila mendasari pendekatan diplomasi dialog, musyawarah, dan negosiasi sebagai sarana penyelesaian konflik internasional. Itu sebab Indonesia kerap dipercaya sebagai mediator konflik global. serta sila “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia” mendasari fokus kebijakan luar negeri yang menolak penjajahan, mengemukakan kesejahteraan bersama, dan penciptaan tatanan global yang lebih adil dan setara.
