Jakarta : Tokoh Pendidikan Nasionak dan pemerhati kebijakan publik, Dr. Iswadi, mengingatkan Pemerintah Pusat dan DPR RI agar dalam proses revisi Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemerintahan Aceh tetap memegang teguh komitmen yang telah tertuang dalam Perjanjian Damai Helsinki (MoU Helsinki) tahun 2005.
Hal tersebut disampaikan nya kepada wartawan Melalui pesan WhatsApp,, Sabtu 13 September 2025 , Dr. Iswadi menyampaikan bahwa revisi RUU Pemerintahan Aceh merupakan hal yang wajar dalam sistem hukum yang dinamis, namun tidak boleh keluar dari semangat dan substansi MoU Helsinki yang telah menjadi landasan perdamaian Aceh pasca-konflik panjang.
RUU ini menyangkut nasib dan masa depan Aceh sebagai bagian dari Indonesia yang memiliki kekhususan dan keistimewaan. Setiap perubahan harus tetap konsisten dengan semangat MoU Helsinki. Jika tidak, maka kita sedang bermain dengan api dan mempertaruhkan stabilitas politik yang selama ini berhasil kita jaga, tegas Dr. Iswadi.
Dr. Iswadi menyoroti beberapa isu krusial yang patut menjadi perhatian dalam proses revisi, antara lain:
Pertama Kewenangan Pemerintah Aceh yang selama ini dijamin oleh UUPA jangan sampai dikurangi atau dibatasi secara sepihak.
Kedua Pembagian hasil sumber daya alam, terutama migas, harus tetap sesuai dengan proporsi yang telah disepakati untuk menjamin keadilan ekonomi bagi masyarakat Aceh.
Ketiga Pengakuan terhadap simbol simbol kedaerahan, seperti bendera dan lambang Aceh, harus tetap dihormati sesuai dengan kesepakatan dalam MoU dan UUPA.
Keempat Peran partai lokal dan independen dalam proses demokrasi Aceh harus terus diperkuat, bukan dibatasi.
kelima Penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu, yang merupakan bagian penting dari proses rekonsiliasi, harus terus menjadi agenda prioritas.
Menurutnya, banyak butir butir MoU yang belum sepenuhnya terealisasi, dan revisi RUU ini semestinya menjadi momentum untuk menguatkan komitmen, bukan menghapus atau mengaburkan isi kesepakatan damai tersebut.
Lebih jauh, Dr. Iswadi menegaskan bahwa RUU ini bukan hanya soal Aceh, tetapi juga menyangkut citra dan integritas Pemerintah Pusat dalam menjalankan kesepakatan damai di mata masyarakat luas, baik nasional maupun internasional.
Jika komitmen pada MoU Helsinki mulai diabaikan, maka kredibilitas negara dalam menjaga perjanjian damai juga akan dipertanyakan. Ini bukan hanya soal hukum, tetapi juga soal etika dan kepercayaan, ujarnya.
Ia menambahkan bahwa pemerintah perlu menunjukkan kebesaran hati dan keberanian politik untuk menjaga komitmen yang telah dibuat secara sah dan terbuka kepada dunia internasional.
Untuk menjaga suasana kondusif dan menjamin keadilan dalam proses legislasi, Dr. Iswadi menyampaikan beberapa rekomendasi konstruktif:
Pertama Libatkan tokoh-tokoh Aceh, mantan kombatan, akademisi, dan elemen masyarakat sipil secara aktif dalam pembahasan RUU agar prosesnya inklusif.
Kedua Lakukan audit menyeluruh terhadap implementasi MoU Helsinki dan UUPA selama ini, untuk melihat aspek mana yang sudah berjalan dan mana yang belum.
Ketiga Pastikan proses revisi berjalan transparan, akuntabel, dan partisipatif serta tidak tergesa-gesa.
Keempat Tetapkan mekanisme pengawasan independen agar implementasi hasil revisi RUU dapat dijalankan secara konsisten dan berkeadilan.
Kelima Perkuat jaminan perlindungan HAM dan rekonsiliasi sebagai bagian dari upaya membangun perdamaian yang berkelanjutan.
Dr. Iswadi menegaskan bahwa menjaga kesetiaan terhadap MoU Helsinki bukanlah semata urusan hukum atau administratif, tetapi merupakan bentuk penghormatan terhadap sejarah perjuangan dan perdamaian yang telah dibangun bersama dengan susah payah
Perdamaian di Aceh adalah aset bangsa. Jangan kita rusak hanya karena kepentingan sesaat atau ketidaktelitian dalam legislasi. RUU Pemerintahan Aceh harus menjadi simbol komitmen negara terhadap keadilan, kepercayaan, dan stabilitas nasional, pungkas Alumni Program Doktoral Manajemen Pendidikan Universitas Negeri Jakarta tersebut