Refleksi Atas Perjalanan Globalisasi, Pandemi Dan Masa Depan Indonesia

Foto penulis, Harry Waluyo Sajati
Harry Waluyo Sajati

Globalisasi telah mendatangkan banyak masalah dan tantangan (misalnya perubahan iklim, ledakan populasi, memburuknya ekosistem, dan pandemi) yang sulit untuk diselesaikan oleh satu negara saja. Aturan dan regulasi global, yang dapat melewati batas-batas kekuasaan negara, telah menjadi sesuatu yang esensial ditengah-tengah masyarakat internasional (Flew, 2018). Sementara itu, akibat globalisasi, membuat pergerakan orang, barang, dan informasi menjadi lebih cepat, lebih mudah, lebih jauh, dan lebih sering dari yang pernah kita bayangkan sebelumnya. Ironisnya, hal ini meningkatkan penyebaran Penyakit COVID-19 ke seluruh dunia setelah mewabah di Tiongkok pada Desember 2019. Lebih dari 214 juta orang di 224 negara dan wilayah telah terinfeksi COVID-19, dan lebih dari 4,4 juta orang telah meninggal (covid19.go.id, 2021, 28 Agustus). Dampak luar biasa dari guncangan COVID-19 dengan cepat menyebar ke ekonomi global, memicu penurunan kegiatan ekonomi yang dramatis, baik karena adanya pemberlakuan jarak sosial dan juga karena lockdown yang dilakukan beberapa negara dan pembatasan mobilitas lainnya. Untuk mengurangi wabah, banyak negara telah menyatakan keadaan darurat dan telah melakukan tindakan tegas di dalam negeri dan internasional. Tulisan ini mencoba untuk merefleksikan perjalanan globalisasi hingga masa pandemi, dan dampaknya bagi masa depan Indonesia pasca-pandemi. Tulisan ini merupakan upaya sumbangan pemikiran sederhana dari sekian banyak bunga rampai pemikiran pembangunan di Indonesia.

Pandemi COVID-19 mungkin bisa dilihat sebagai krisis global terbaru, dan bisa dibilang paling serius saat ini. Dengan adanya pemberlakuan lockdown dan pembatasan mobilitas baik orang maupun barang disejumlah negara yang kemudian menimbulkan krisis disegala dimensi, semakin menambah kritik atas globalisasi dan kapitalisme yang sudah meluas sejak krisis finansial tahun 2007. Sebagai konsekuensi dari berbagai kebijakan pembatasan mobilitas masyarakat, dunia sekarang mengalami apa yang disebut sebagai fase de-globalisasi (Antras, 2020). Pada masa inilah kita dapat melihat kembalinya batas geografis antar wilayah dan antar negara yang sebelumnya kabur, konsep jarak yang terhilangkan menjadi jarak yang sebenarnya, dan tempat yang terpencil menjadi tempat terjangkau sekarang menjadi terpencil kembali. Meskipun kemajuan teknologi saat ini masih bisa menghubungkan secara virtual komunikasi antar keluarga yang terpisah, kebanyakan proses dari pemadatan ruang dan waktu, sebuah legacy dari globalisasi, menjadi terhenti sebagian.  

Pada sisi lain, kegagalan pasar dalam mengatasi krisis pandemi, telah menghantarkan kebangkitan negara menjadi lebih kuat dibandingkan krisis finansial 2008. Jika krisis finansial 2008 telah membangkitkan politik nasionalisme di eropa, namun politik nasionalisme tersebut masih belum mampu berhadapan langsung dengan kekuatan pasar. Sementara itu, COVID-19 mengajarkan kita bahwa negara adalah mekanisme yang paling efektif dalam menyelamatkan nyawa dan ekonomi rakyat, sesuatu yang pasar tidak mampu lakukan. Penutupan batas negara dan wilayah adalah bukti nyata hal ini. Di Indonesia, penerapan prokes dan ppkm membuktikan kekuasaan negara diatas kekuasaan pasar. 

Distribusi vaksin yang semakin meluas sebagai mekanisme pertahanan tubuh dalam melawan COVID-19 mungkin menjadi pertanda bahwa proses de-globalisasi ini hanya sementara. Namun hal ini juga berarti bahwa globalisasi akan mengarah pada sesuatu yang baru, sesuatu yang sebelumnya belum pernah kita bayangkan sebelum pandemi melanda. Ini berarti dunia akan menghadapi ketidakpastian yang tinggi, namun bukan berarti tidak dapat diarahkan. Bagi Indonesia, momentum ini merupakan peluang untuk merumuskan kembali masa depan Indonesia ditengah-tengah globalisasi yang baru. 

Refleksi singkat atas globalisasi

Teori globalisasi kontemporer biasanya menghubungkan istilah globalisasi dengan tatanan politik dan ekonomi dunia pasca-1945. Penciptaan lembaga-lembaga multinasional seperti Dana Moneter Internasional, Bank Dunia, Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan perjanjian multilateral yang mengikat serta perjanjian-perjanjian lainnya memungkinkan terjadinya akselerasi pertumbuhan perdagangan, investasi, dan pergerakan masyarakat, setidaknya hingga terjadi “guncangan minyak” dan krisis ekonomi pada tahun 1970-an. Namun pada masa itu hegemoni ide-ide liberal tumbuh sangat kuat selama tahun 1970-an dan 1980-an. Runtuhnya Uni Soviet dan transformasi rezim komunis Eropa Timur memberi kesimpulan bahwa kita memang melakukan apa yang Francis Fukuyama (1992) sebut sebagai “the end of history,” yang ditandai dengan kemenangan demokrasi liberal dan kapitalisme pasar. Kemenangan tersebut ditambah dengan keterbukaan Cina pada ekonomi global semakin memberi dorongan pada jaringan-jaringan produksi maupun pasar global. Periode ini kita sebut sebagai periode ‘globalisasi ekonomi’, oleh karena transformasi aktivitas ekonomi, kuantitas, volume, kecepatan, merupakan pendorong utama globalisasi pada masa tersebut.

Tahun 1990-an dan awal 2000-an merupakan periode ‘puncak globalisasi’. Di dunia akademik, para penulis seperti Castell (1996), Beck (2000), Giddens (2002), Held (2004) (dalam Flew, 2018) dan lainnya mengidentifikasi teknologi Internet dan media digital, pertumbuhan institusi dan perjanjian multilateral, pembentukan entitas supranasional seperti Uni Eropa, dan munculnya pergerakan global civil society, serta peredaran media digital menandai era globalisasi yang sangat kuat. Dalam kerangka ini, globalisasi menandai perubahan kualitatif (tidak hanya kuantitatif) dalam dinamika ekonomi, politik, dan budaya masyarakat modern, sampai pada titik dimana kita bergerak ke era baru, yang ditandai dengan penurunan nilai penting negara-bangsa, kebangkitan solidaritas global, identitas budaya yang semakin hibrida dan sebuah ekonomi kapitalis global yang terintegrasi secara penuh (Flew, 2018).

Internet dan globalisasi dapat dipandang sebagai kekuatan yang saling bekerja sama untuk mendorong tidak hanya bentuk kesadaran global yang lebih besar, tetapi juga budaya kosmopolitan dan bentuk identitas post-national. Gerakan aktivis terkait sosialisme, feminisme, hak LGBT, kebebasan agama dan perhatian terhadap lingkungan ditengarai oleh apa yang disebut Scholte sebagai “kosmopolitanisme parsial” (Scholte, 2005). Untuk sosiolog seperti Beck, kekuatan negara bangsa menurun dan “mereka yang hanya memainkan ‘kartu nasional’ dalam meta-game global akan kalah”, negara bangsa hanya dapat membuat diri mereka relevan kembali dengan diri mereka sendiri jika “menjadi transnasional dan terkosmopolitanisasi” (Scholte, 2005). Kosmopolitanisasi menurut Beck (2005), merupakan kesadaran yang muncul dimasyarakat yang mulai mengimajinasikan “shared collective future”. Sebuah orientasi interkoneksi dimasa depan yang memandang rendah kekuatan identitas nasional. Hal ini menunjukkan bahwa negara dan bangsa sebagai representatif dari masyarakat modern telah luntur, dan menandai apa yang menurut Chernilo (2021), periode setelah ‘puncak globalisasi’ ini, sebagai periode ‘pelemahan negara dan krisis kedaulatan bangsa’. 

Di Indonesia, kosmopolitanisasi ini mewujud dalam berbagai bentuk gerakan emansipasi, baik berbasis gender maupun orientasi seksual. Dalam bidang ekonomi, hal ini mendorong konsumerisme di Indonesia menjadi lebih dalam sehingga lebih banyak mendorong tumbuhnya industri yang berkaitan dengan gaya hidup, termasuk industri pariwisata. Industri ini tumbuh sangat pesat hingga awal tahun 2020, namun mengalami kemunduran luar biasa ketika pembatasan mobilitas masyarakat mulai diberlakukan secara ketat. Keadaan ini dapat menjadi peluang bagi Indonesia untuk re-orientasi industri pariwisata dengan melakukan pelibatan kelompok masyarakat indigenous dalam pemulihan industri pariwisata, sekaligus mendorong tumbuhnya local eco-tourism. Observasi dan penelitian yang mendalam tentang hal ini diperlukan bagi perumusan kebijakan industri pariwisata yang tepat, namun tidak akan diuraikan lebih lanjut dalam tulisan ini.

Dari sisi ekonomi, krisis finansial yang dimulai tahun 2007 dan kenaikan kesenjangan pendapatan semakin meningkatkan kritik terhadap globalisasi dan kapitalisme di negara industri. Joseph Stiglitz menawarkan proposisi dalam buku “The Price of Inequality” (2012): “globalization, as it has been managed, is narrowing the choices facing our democracies, making it more difficult for them to undertake the tax and expenditure policies that are necessary if we are to create societies with more equality and more opportunity” (hal. 142). Diwaktu yang sama, kebangkitan kapitalisme negara sebagai alternatif dari ekonomi neoliberal barat telah menjadi perhatian dimana Cina merupakan contoh utama dari ekonomi pasar terpimpin telah melampui kinerja dari negara-negara barat terutama pada tahun 2010-an.  Pada masa ini juga kita melihat munculnya kritik terhadap perusahaan raksasa multinasional melalui pelarangan Google di China, Linkedin di Rusia, dan Wikipedia di Turki.

Indonesia dalam globalisasi

Bagi Indonesia, perjalanannya dalam rentang sejarah globalisasi dapat dilihat sejak jaman Orde Baru. Meski pengaruh globalisasi terhadap Indonesia memiliki banyak corak dan bentuk, tulisan ini akan dibatasi dalam 2 bentuk pengaruh, yaitu perdagangan global dan Foreign Direct Investment (FDI). Pemilihan 2 bentuk ini lebih untuk menggambarkan dampak globalisasi pada ketergantungan Indonesia terhadap investasi sehingga menimbulkan saat ini apa yang disebut sebagai rejim investmentalism

Pada awal 1970-an sampai dengan akhir 1970-an Indonesia mengembangkan program industrialisasi substitusi impor tahap pertama (tahap yang mudah). Dalam tahap awal ini pengembangan industri substitusi impor di Indonesia didukung oleh sebagian besar tarif bea masuk dan pajak penjualan barang impor. Proteksi tarif tersebut mengakibatkan kecenderungan anti ekspor karena sektor-sektor yang bersaing dengan impor menikmati proteksi efektif yang rata-rata mencapai 60% pada tahun 1980, sedangkan barang-barang yang dapat diekspor rata-rata hanya 32%. Dengan demikian para pengusaha lebih suka menanam modal dalam industri yang bersaing dengan impor daripada dalam industri yang berorientasi ekspor. Keberhasilan ini mendorong Indonesia untuk melanjutkan strategi substitusi impor tahap kedua, dengan menggalakkan pengembangan industri-industri hulu, terutama industri-industri dasar pengolahan sumber daya seperti industri baja dan industri aluminium. Untuk mendorong proses tahap kedua industrialisasi substitusi impor ini pemerintah Indonesia mulai bertumpu pada penghalang non tarif, terutama pembatasan impor kualitatif, dan berbagai peraturan protektif lainnya seperti program-program penghapusan (deletion programs) yang bersifat wajib (program yang mengharuskan ditingkatkannya kandungan lokal) (Arsyad & Detajanna, 1997). 

Dalam periode awal tahun 1980-an perekonomian Indonesia mengalami goncangan. Pasar minyak internasional mengalami depresi yang serius. Sebagai tanggapan terhadap depresi ini, sesuai dengan ketentuan OPEC Indonesia harus mengurangi produksi minyaknya dari 1,6 juta barel per hari pada tahun 1981 menjadi 1,3 juta barel per hari dalam pada 1982. Kejadian ini diikuti dengan penurunan harga minyak dari US$ 34 per barel menjadi US$ 29 per barel (Arsyad & Detajanna, 1997). Pada masa ini persinggungan Indonesia dengan globalisasi ekonomi mulai menguat, ditandai dengan tunduknya Indonesia pada aturan OPEC. Penurunan harga minyak dan gas bumi tersebut membuat pemerintah Indonesia menyadari bahwa Indonesia tidak bisa terus-menerus mengandalkan penerimaan dari sektor migas. Untuk itu perlu digalakkan ekspor non-migas, terutama dari industri manufaktur. Pada fase ini, pemerintah mulai berinvestasi di industri berat, petrokimia, dan pertambangan.  Tujuannya ialah untuk menarik FDI dan mempromosikan ekspor untuk diversifikasi ekonomi agar tidak bergantung pada minyak. Untuk mendorong pembangunan sektor industri manufaktur yang berorientasi ekspor, pemerintah harus beralih dari kebijakan substitusi impor yang proteksionis ke kebijakan promosi ekspor. Perubahan strategi ini dilakukan dengan beberapa pertimbangan. Pengalaman menunjukkan bahwa industri-industri substitusi impor kurang mampu menyerap peningkatan tenaga kerja dengan membiarkan pengangguran atau setengah pengangguran di sektor-sektor perekonomian yang tradisional (Arsyad & Detajanna, 1997). Pemberian insentif untuk investasi secara besar-besaran jelas menguntungkan penggunaan teknologi padat modal dengan mendorong impor mesin dan peralatan modem serta mensubsidi barang-barang modal.

Pada saat ini, Indonesia telah terhubung pada kecepatan yang sangat tinggi ke pasar perdagangan dunia dengan melibatkan produsen-produsen lokal ke dalam rantai distributor dan produsen luar negeri. Globalisasi yang sangat cepat sejak era ICT, atau disebut juga hyper globalisation, membawa keuntungan bagi Indonesia dalam bentuk terbukanya akses terhadap informasi dan juga pasar modal. Dalam rangka mengambil manfaat dari perkembangan ini, Indonesia mengurangi kendali pemerintah dan menghilangkan monopoli di bidang telekomunikasi, transportasi udara, dan jasa keuangan (Buzoianu et. al., 2021). Disisi lain, kebijakan ini juga mengikuti kebijakan IMF yang diterapkan ke Indonesia sebagai bagian dari paket restrukturisasi pasca krisis 1998. Tulisan ini tidak akan melihat persoalan politik kebelakang, namun lebih pada dampak dari kebijakan tersebut terhadap perkembangan industri di Indonesia. Pada fase ini, Indonesia mengalah pada kekuatan ‘pasar’. Dengan adanya pemadatan jarak dan ruang, perpindahan orang, barang, dan duit dapat berlangsung dengan sangat cepat. Para pelaku pasar dapat memindahkan keuntungannya dalam sekejap ke luar negeri, dan mencatatatkan keuntungan yang diperoleh dalam pembukuannya sebagai keuntungan perusahaan induk di luar negeri. Akibatnya, Pemerintah tidak dapat menarik pajak dari setiap aktivitas ekonomi yang berlangsung di dalam negeri, dan juga tidak dapat mengontrol secara kuat perpindahan duit antar negara sehingga memudahkan terjadinya praktek cuci uang dan penimbunan dana di luar negeri.

Kebijakan liberalisasi ekonomi, meskipun penerapannya terbatas, dilakukan untuk memperkenalkan kompetisi dalam beberapa segmen industri dalam rangka diversifikasi investasi yang lebih besar di Indonesia. Namun hal ini membawa persoalan tersendiri bagi Indonesia hingga saat ini. faktor utama mengapa sektor industri lebih memilih teknologi padat modal ialah karena tidak adanya basis teknologi industri maju (advanced) di dalam negeri yang memungkinkan para industrialis menggunakan teknologi dalam negeri. Namun faktor ini juga merupakan imbas dari kebijakan pro ekspor yang penerapannya menjadi terbatas, dimana industri yang lebih dikembangkan adalah industri hulu, sebagaimana telah disebutkan di atas. Selain itu, orientasi ekspor lebih pada raw material dikarenakan proses yang lebih cepat dan juga lebih cepat menerima revenue. Sedangkan produk ekspor barang jadi memiliki waktu dan proses yang lebih panjang, membutuhkan tenaga kerja skill tinggi, sehingga revenue yang diperoleh menjadi lebih lama dibandingkan ekspor raw material. Pilihan orientasi tersebut pada akhirnya membuat sektor industri memiliki ketergantungan yang tinggi pada impor mesin dan peralatan modern, selain bahan baku yang tidak tersedia di dalam negeri. Selain itu, orientasi ekspor raw material menyebabkan nilai tambah produk ekspor SDA hampir tidak ada. Akibatnya, produk ekspor Indonesia, diluar produk ekspor padat karya, tidak memiliki spesialisasi yang unik sehingga para pekerja disektor industri kurang memiliki pengalaman dalam menciptakan produk bernilai tambah tinggi. Di kemudian hari, ini menjadi masalah inheren dalam upaya nasional meningkatkan daya saing industri nasional terutama industri yang membutuhkan inovasi. Pada akhirnya, ‘investasi’ menjadi satu-satunya pilihan bagi Indonesia dalam meningkatkan daya saing industrinya, yang dalam pandangan penulis, sebuah kekeliruan fundamental dalam perencanaan pembangunan.

Masa depan Indonesia

Dari gambaran diatas,  terlihat bahwa globalisasi dengan segala kemajuannya telah membawa Indonesia beralih dari negara agraris menjadi negara semi-industrialis. Penulis menggunakan istilah semi-industrialis, karena kontribusi sektor industri pada PDB Indonesia belum signifikan. Sebabnya, sebagaimana telah tergambarkan di atas, pada dasarnya komposisi sektor industri di Indonesia bukan lebih banyak pada industri yang padat inovasi dan padat karya, namun lebih banyak pada industri padat modal. Bahkan Arsyad dan Detajanna dalam penelitiannya (1997) menyebutkan bahwa industri padat modal di Indonesia menerima manfaat skala ekonomi yang lebih kecil bila dibandingkan dengan industri padat karya. Dan keberlangsungan industri padat modal ini terus berlangsung dan dipertahankan melalui serangkaian kebijakan yang pro investasi. Akibatnya, ketika dunia dilanda pandemi yang kemudian menyebar ke Indonesia, sektor industri Indonesia yang sangat tergantung pada investasi menjadi kesulitan untuk bertahan, konon lagi menjadi daya ungkit pertumbuhan ekonomi. Hal ini terlihat dari bagaimana gagapnya Pemerintah dalam menyediakan sarana dan prasarana kesehatan untuk menangani COVID-19. Kelangkaan ventilator dan alat tes COVID-19 merupakan contoh nyata dari betapa tidak berdayanya Pemerintah dalam mengandalkan industri dalam negeri.  Pada konteks inilah diperlukan misi baru dari pengembangan sektor industri di Indonesia, yaitu lebih mengandalkan padat karya, padat inovasi, dan mengandalkan sumber daya dari dalam negeri (termasuk modal). Jika hal ini tidak dilakukan, maka ketika globalisasi telah menemukan arah barunya, Indonesia akan kembali kesulitan mengejar ketertinggalannya bahkan dapat tertinggal jauh dari negara tetangga seperti Vietnam dan Filipina.

Indonesia memiliki peluang untuk mengejar ketertinggalannya dari negara dengan pendapatan per kapita tinggi, terutama dimasa pandemi ini. Hal ini bukan berarti Indonesia dapat serta merta menjadi negara maju dimasa pandemi, namun lebih pada memanfaatkan momen de-globalisasi sekaligus penguatan kekuasaan negara pada saat ini untuk meninjau ulang orientasi pembangunan di Indonesia. Investasi sebagai andalan utama Indonesia untuk menghindari middle income trap perlu dipikirkan kembali. 

Ada sebuah catatan menarik yang dapat dipetik hikmahnya dari kejadian pandemi ini, pertama adalah dalam konteks global tidak ada pemimpin bangsa-bangsa yang dapat memberi solusi bersama bagi seluruh bangsa dalam menghadapi COVID-19. WHO sebagai badan dunia yang ahli di bidang kesehatan, mengalami kesulitan untuk menerapkan rekomendasinya secara global. Amerika dan China, yang sebelum pandemi merupakan kutub dunia, juga menunjukkan kegagapannya dalam mengatasi pandemi bahkan di dalam negerinya sendiri. Hal ini menunjukkan adanya kekosongan kekuasaan ditingkat global, yang juga dapat dipahami sebagai kembalinya kekuasaan dari ‘tangan pasar’ ke tangan negara bangsa. 

Indonesia dapat memanfaatkan momen ini untuk memulai konsolidasi sumber daya dalam negeri dan memikirkan bagaimana memanfaatkan sumber daya yang ada untuk kemajuan bangsa, dan meninggalkan ketergantungan terhadap FDI, meskipun FDI merupakan variabel penting dari pertumbuhan ekonomi. Konsolidasi sumber daya dalam negeri yang dimaksudkan adalah, Indonesia memiliki SDM berkualitas yang belum termanfaatkan atau terberdayakan secara maksimal. Data dari Kementrian Ristek dan PT, sebagaimana diberitakan dalam media pikiran rakyat (pikiran-rakyat.com, 2017), jumlah tenaga kerja lulusan perguruan tinggi hanya sebesar 17,5%. SDM tersebut dapat diberdayakan pada sektor-sektor yang membutuhkan tenaga kerja berpengetahuan dan berskill tinggi, terutama pada sektor industri padat karya dan padat inovasi. Selain itu, untuk meningkatkan kemampuan inovasi industri dalam negeri, tidak cukup dengan modal maupun tenaga kerja yang berkualitas, namun diperlukan juga sharing ideas dan tacit knowledge. Gordon dan Kourtit (2019) menggambarkan dengan cukup baik tentang kegagalan hampir semua upaya untuk menduplikasi ‘silicon valley’, yaitu upaya membangun pusat-pusat inovasi di berbagai negara, tidak terkecuali Indonesia. Salah satu variabel penting dari pusat inovasi adalah adanya ‘brain hub’, atau tempat-tempat dimana ide dan gagasan dapat saling dipertukarkan melalui diskusi. Asumsi utamanya adalah, tacit knowledge  sebagai pengetahuan yang merupakan akumulasi dari pengalaman dalam berbagai dimensi waktu dan ruang merupakan faktor penting bagi terjadinya inovasi. Tacit knowledge yang dipertukarkan diantara para pelaku usaha tidak termasuk dalam hampir semua rencana pengembangan kawasan pusat inovasi. Indonesia perlu mengadopsi konsep ini dalam rencana pengembangan kawasan industri agar inovasi dapat menjadi bagian dari pertumbuhan industri. 

Pada sisi lain, dengan semakin menguatnya kekuasaan negara atas pasar, dapat dijadikan peluang bagi Indonesia untuk mulai mendikte ‘pasar’ agar tunduk pada ketentuan di Indonesia. Kita dapat membayangkan hal ini, misalnya Pemerintah akhirnya akan mampu menarik pajak dari perusahaan-perusahaan yang selama ini membukukan keuntungannya di perusahaan induk di luar negeri, merealisasikan pembangunan smelter, dan banyak hal lainnya yang dapat menjadi bahan diskusi selanjutnya.

Daftar Pustaka 

Antras, P. 2020. “De-Globalisation? Global Value Chains in the Post-COVID-19 Age.” NBER Working Paper No. 28115. https://www.nber.org/system/files/working_papers/w28115/w28115.pdf

Arsyad, L., Detajanna, A. 1997. “Pola Pengembangan Industri Manufaktur di Indonesia, 1973 – 1993”. Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia Vol 12 No.1 Tahun 1997. https://core.ac.uk/download/pdf/297708928.pdf

Beck, U. 2005. Power in the Global Age: A New Global Political Economy. Malden, MA: Polity Press.  https://books.google.co.id/books?hl=en&lr=&id=IbdmeKSw0d4C&oi=fnd&pg=PR11&ots=4W7UJsLht7&sig=UWBOwk9TQF70Z_8Q14EbotErM-o&redir_esc=y#v=onepage&q&f=false

Buzoianu, O. A. C., Negescu, M. D. O., Troaca, V. A., & Gombos, C. C. 2021. “Globalization and working conditions in developing countries.” SHS Web of Conferences 92, 0 (2021) Globalization and its Socio-Economic Consequences 2020. https://doi.org/10.1051/shsconf/20219207011

Chernilo, D. 2021. “Another Globalisation: Covid-19 and the Cosmopolitan Imagination: “. Pandemics, Politics, and Society: Critical Perspectives on the Covid-19 Crisis, edited by Gerard Delanty, Berlin, Boston: De Gruyter, pp. 157-170. https://doi.org/10.1515/9783110713350-011

Flew, T. 2018. “Post-globalisation”. Javnost, 25(1-2), pp. 102-109. https://doi.org/10.1080/13183222.2018.1418958

Gordon, P., Kourtit, K. 2020. “Agglomeration and clusters near and far for regional development: A critical assessment”. Reg Sci Policy Pract.;12:387–396. https://doi.org/10.1111/rsp3. 12264 

Kurlantzick, J. 2016. State Capitalism: How the Return of Statism Is Transforming the World. New York: Oxford University Press.

Scholte, J. A. 2005. Globalization: A Critical Introduction. 2nd ed. Basingstoke: Palgrave Macmillan.

Seftiawan, D. 2017. Serapan Tenaga Kerja Lulusan Perguruan Tinggi Masih Rendah. https://www.pikiran-rakyat.com/pendidikan/pr-01283235/serapan-tenaga-kerja-lulusan-perguruan-tinggi-masih-rendah-405482

Stiglitz, J.E. 2012. The price of inequality – How today’s divided society endangers our future. New York & London: Norton & Company.

Leave a Reply

Close Menu