SOLUSI KONFLIK THAILAND -KAMBOJA: ANTARA ASEAN INDONESIA, DAN HEGEMONI AS

SOLUSI KONFLIK THAILAND -KAMBOJA: ANTARA ASEAN INDONESIA, DAN HEGEMONI AS

Penulis: Justin Djogo M.A, MBA (Direktur Kajian Politik dan Luar Negeri Balitbang DPP Partai Golkar)

Kita belum lupa pada peristiwa penandatanganan perjanjian gencatan senjata, oleh Anutin Charnvirakul dari Bangkok dan Hun Manet dari Phnom Penh, di depan Presiden AS Donald Trump dan PM Anwar Ibrahim di Kuala Lumpur pada 26 Oktober 2025. Tapi tiba-tiba peristiwa itu menjadi cerita lama. Pekan lalu (10 Desember 2025), Kamboja dan Thailand sudah kembali baku lempar peluru dan roket. Thailand menyalahkan Kamboja atas serangan roket PHL-03 pada 7 Desember 2025, sedangkan Phnom Penh mengklaim Bangkok meluncurkan F-16 airstrikes pertama sebagai provokasi. Mana peran Amerika? Bukankah pada penandatanganan gencetan senjata Kamboja – Thailand, AS “campur tangan”?

 

Akar Konflik, Luka Kolonial

Kuil Preah Vihear seharusnya menjadi simbol kejayaan dua bangsa berbeda tapi bertetangga, yakni bangsa Khmer yang campuran India-Melayu dan bangsa Sino-Thai. Karena, jauh sebelum era kolonialisasi Eropa atas Asia Tenggara, hubungan kedua tetangga  —Kerajaan Siam (Thai) dan Kekaisaran Khmer– selama berabad-abad tidak mengenal batas linear. Mereka, seperti juga Vietnam dan Laos (yang berdiri pada abad 19), sama-sama bergantung pada Sungai Mekong. Namun kolonialis Eropa yang datang pada akhir abad ke-19, mengubah  kondisi: “memaku” Kamboja, Vietnam dan Laos ke dalam  Indochina, tanpa Thailand.

Dalam  peta modern kolonialis, kerajaan – kerajaan lama itu dikurung dalam garis- garis batas, tanpa persetujuan masing-masing empunya wilayah. Perjanjian antara pihak Perancis dengan Thailand (waktu itu masih bernama Siam) pada 1904-1907, menghasilkan peta 1907, tentang  tetapan batas yang  ambigu. Ketika Mahkamah Internasional (ICJ) pada tahun 1962 menggunakan peta dari produk kolonial —yang bukan konsensus regional— itu. kepemilikan candi Preah Vihear  jatuh pada Kamboja. Tentu saja Thailand tak menerima keputusan sepihak itu, dengan tetap mempertahankan klaim atas wilayah sekitarnya seluas 4,6 kilometer persegi yang pernah dikuasai secara de facto sejak 1954.

 Thailand menganggap perbatasan di Pegunungan Dangrek sebagai garis pertahanan domestik utama. Sedangkan Kamboja yang menjadikan candi itu sebagai simbol pemulihan identitas pasca-kolonial, juga sumber pariwisata. Juga peluang bagi Kamboja untuk mendapatkan investasi senilai miliaran dolar dari China, dalam  membangun infrastruktur (pelabuhan Sihanoukville dan kereta cepat). Faktor Beijing memberi  pinjaman murah dan senjata, menjadi salah satu alasan keberanian  Kamboja, yang mendaftarkan situs tersebut sebagai Warisan Dunia UNESCO pada 2008.

Sikap pemerintah Thailand yang menandatangani MoU bilateral 2008 yang menerima tindakan Kamboja mencantumkan situs tersebut ke UNESCO, menyebabkan reaksi keras dari rakyat Thailand. Politisasi isu pun terjadi. Gelombang nasionalisme di Thailand yang sudah mendidih sejak kudeta militer 2006, menjadikan momen tersebut untuk memprotes pemerintahnya. Bangkok remuk oleh amproknya dua kubu:  “Yellow Shirts” Thailand yang anti Thaksin, baku kepruk dengan kubu Red Shirt yang pro- Thaksin.

Al Jazeera mencatat lebih dari 30.000 orang demonstran turun ke jalan dan merangsek ke Government House (istana) pada 26 Agustus 2008. Militer Thailand dan Kamboja pun baku lempar peluru sejak April hingga Oktober 2008 secara berkala, di sekitar kompleks Candi Preah Vihear. Meski sempat reda, namun bentrokan bersenjata antara kedua negara, terjadi lagi pada 2011.

Konflik bereskalasi menjadi perang artileri pada Februari-April 2011 di Ta Moan Thom dan Ta Krabey. Baku tembak berlangsung di sekitar situs Ta Muen Thom (kuil Thailand) dan Ta Krabey (posisi Kamboja), sehingga menewaskan 28 orang (termasuk warga sipil) serta 80.000 orang terpaksa mengungsi. ASEAN melakukan mediasi melalui Indonesia, era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang saat itu memimpin ASEAN. Lama reda, tapi Juli 2025 lalu, konflik kembali pecah. Dan memanas lagi pada Desember 2025.

ASEAN Way”: Alon-alon Kapan Kelakon?

Thailand menjadi anggota pendiri ASEAN pada 1967, dan Kamboja bergabung pada 1999. ASEAN sebagai organisasi regional yang senantiasa memegang teguh  janji untuk menjaga stabilitas kawasan, punya platform untuk dialog dan negosiasi untuk anggotanya yang berkonflik: melalui mekanisme seperti Forum Regional ASEAN (ARF) dan ASEAN Way.

ASEAN Regional Forum (ARF) pada periode 2008-2011 memfasilitasi dialog informal yang berhasil meredakan baku tembak, tetapi gagal mencapai kesepakatan permanen. Sebab, Thailand menolak pengembalian kasus ke ICJ, sedangkan Kamboja justru menginternasionalisasikan isu ke PBB.

Pada eskalasi 2025, setelah skirmish alias bentrokan singkat oleh pasukan terbatas (skirmishers/pengintai), pada Mei, satu tentara Kamboja gugur. Maka ASEAN berupaya memediasi melalui PM Malaysia Anwar Ibrahim pada Oktober 2025, meskipun upaya itu runtuh pada November. Upaya lain ASEAN mencakup intervensi diplomatik dan inisiatif,demi  meredakan ketegangan dan meningkatkan saling pengertian antara anggota ASEAN.

Keterlibatan ASEAN dalam sengketa Thailand-Kamboja, bukan tanpa tantangan. Pertama, terkait  keluhan historis (Grievance history/ riwayat keluhan/pengaduan) yang kompleks dan kronis. ICRC Casebook, “Cambodia-Thailand Border Conflict Around Preah Vihear Temple” (2004).

Kedua, tantangan berupa dinamika kekuasaan yang rumit, sehingga memperparah situasi. Thailand, sebagai negara yang lebih dominan secara militer dan ekonomi di Asia Tenggara, sering kali menolak tekanan eksternal yang dianggap melemahkan posisinya. Di sisi lain, Kamboja memanfaatkan aliansi dengan China untuk menyeimbangkan pengaruh tersebut. Kedua hal itu membuat mediasi ASEAN seolah “terjebak” dalam ketidakseimbangan kekuatan internal organisasi. RSIS Singapore, “The Thai-Cambodia Border Dispute and Implications for ASEAN” (2011).

Ketiga, kepentingan nasional yang berbeda pada tiap negara. Thailand memprioritaskan keamanan domestik dan akses ekonomi ke Pegunungan Dangrek, guna menjaga stabilitas politiknya. Sedangkan Kamboja bergantung pada Preah Vihear sebagai magnet pariwisata dan penegasan identitas budaya. Cambridge Asian Journal of International Law, “Explaining ASEAN’s Role in the Temple of Preah Vihear Dispute” (Phan, 2015).

Tantangan keempat, prinsip non-intervensi, yang menjadi landasan utama pendekatan ASEAN Way, kerap membatasi kemampuan ASEAN untuk melakukan campur tangan yang efektif. Sebab, larangan tersebut menghalangi kritik atau sanksi langsung terhadap negara anggota, meskipun Pasal 14 Piagam ASEAN mengizinkan good offices secara sukarela.Silobreaker, “Thailand-Cambodia July 2025 Border Conflict” (2025).  Good offices adalah diplomasi pihak ketiga (bisa Ketua ASEAN, Sekjen, atau negara anggota) yang menjembatani negosiasi tanpa ikut campur isi kesepakatan. Jadi hanya memfasilitasi pertemuan pihak konflik, menyediakan ruang bicara, dan menjaga kerahasiaan. Indonesia —dalam hal ini adalah Menlu RI Marty Natalegawa—   menggunakan good offices Pasal 14 untuk memfasilitasi trilateral Jakarta, dalam bentuk observer mission ASEAN pada 2011.

Kelima, Proses pengambilan keputusan berbasis konsensus mutlak,  sulit dilakukan ASEAN. Sebab, konsensus memerlukan persetujuan seragam, mutlak dari seluruh 10 anggota. Thailand tentu saja akan menolak. Padahal satu penolakan dari anggota ASEAN dapat memveto resolusi tegas, sehingga dapat  menyebabkan de-eskalasi sementara, tanpa menyentuh akar konflik. Missouri Journal of Dispute Resolution, “ASEAN Dispute Settlement and the Temple of Preah Vihear” (Kwok, 2023).

Peran Washington: Mengapa dan Bagaimana?

“Sejak Senin,” catat Reuters (12/12/2024), “Kamboja dan Thailand telah saling menembakkan roket dan artileri di beberapa titik di sepanjang perbatasan sengketa mereka,  sepanjang 817 km (508 mil). Ini adalah pertempuran terberat sejak bentrokan lima hari pada bulan Juli, yang dihentikan Trump dengan seruan kepada kedua pemimpin untuk mengakhiri konflik terburuk mereka dalam sejarah baru-baru ini.”

 

Intervensi Presiden Trump pada Oktober 2025, menghasilkan ceasefire Kuala Lumpur, melalui telepon langsung dengan PM Anutin dan Hun Manet. Presiden Trump menjanjikan bantuan militer tambahan bagi Thailand, dan investasi infrastruktur bagi Kamboja sebagai imbalan de-eskalasi. Gaya khas Washington selama ini —banyak pakar menyebutnya Teori Stabilitas Hegemonic (TSH)–  menekankan “deal-making”. Trump menerapkan pada konflik Kamboja-Thailand melalui kombinasi sanksi perdagangan (blokade fuel Thailand) dan insentif (penghapusan utang Kamboja). Hal tersebut jelas  melampaui keterbatasan non-intervensi ASEAN, yang belum kunjung berhasil selama 17 tahun.

 

Campur tangan Trump pada kesepakatan gencatan senjata total yang diumumkan pada 12 Desember 2025, setelah Trump menelpon PM Thailand Paetongtarn Shinawatra (Anutin) dan PM Kamboja Hun Manet. Trump menerapkan hegemoni  dengan mengancam tarif impor terhadap ekspor otomotif Thailand dan tekstil Kamboja senilai miliaran dolar, sambil menjanjikan bantuan ekonomi dan militer. Leverage ekonomi AS memaksa penarikan pasukan dan pembersihan ranjau, menghindari risiko reputasi dari pengadilan ICJ.  DW, “Thailand strikes Cambodia despite Trump truce claims” (13 Dec 2025):

 

Konteks Asia-Pasifik menjadi kunci. Pertama, perbatasan Thailand – Kamboja lokasinya dekat dengan choke points seperti Selat Malaka. Kedua, pengaruh China di Kamboja (investasi infrastruktur miliaran) membuat AS khawatir pada dominasi Beijing. Maka intervensi AS ini diharapkan dapat memperkuat Thailand sebagai “sekutu” AS, sambil menstabilkan kawasan.

 

Bagi AS, intervensi ini menguntungkan secara strategis: memulihkan citra sebagai peacemaker, menekan ekspansi China di Indo-Pasifik dengan menjaga alur perdagangan global, serta memanfaatkan tarif untuk menghindari pembalasan dari Beijing dengan membuka pintu basis militer di Thailand. Bagi Thailand, manfaatnya berupa penyelamatan prajurit dari korban lebih lanjut, stabilisasi politik domestik (mencegah eksploitasi Red Shirts), dan ruang negosiasi tarif dengan AS. Meskipun hal ini merugikan reputasi nasionalisme Thailand, dan berpotensi mengurangi investasi China.

 

Kamboja diuntungkan dengan pembebasan 18 tawanan perang, keamanan ekspor ke AS, serta peningkatan profil sebagai mitra Washington. Tetapi Kamboja juga “rugi” oleh ambiguitas klaim Preah Vihear, hilangnya legitimasi ranjau, dan tekanan domestik pada dinasti Hun Sen. Akankah perdamaian datang dari kekuatan dompet Washington, bukan ikatan saudara di ASEAN?

 

Secara keseluruhan, campur tangan AS menjadikan kedua negara sebagai pion dalam papan catur geopolitik besar.

Pertanyaannya kini: agar hegemoni transaksional dapat menjamin stabilitas permanen, haruskah melibatkan  pengamat bersenjata PBB?  Atau mungkinkah  Trump akan melakukan intervention kedua dengan  memaksa Joint Border Committee dengan pengawasan AS langsung di Asia Tenggara? Model tersebut mirip Abraham Accords yang “menstabilkan Timur Tengah” melalui insentif ekonomi? Atau, apakah ada pihak-pihak yang menginginkan pelibatan lembaga internasional lain, atas nama nasionalisme domestik kedua negara, agar tak terjadi pelanggaran perjanjian gencetan senjata?

Menanti Peran Indonesia (Lagi)

 

Indonesia, sebagai pemimpin alami di ASEAN, sudah memainkan peran mediasi sejak Menteri Luar Negeri Ali Alatas pada era 1990-an. Upaya itu mendorong dialog bilateral pasca-putusan ICJ 1962, dengan menekankan prinsip diplomasi bebas aktif tanpa tendensi hegemoni. Antara lain ketika Menlu RI Ali Alatas menjabat, banyak berperan dalam membuka jalan menuju Paris Peace Agreements 1991, serta saat konflik Thailand dan Kamboja pecah (lagi) pada 2011.

Konflik Kamboja-Thailand berpengaruh terhadap Indonesia. Pertama, potensi terganggunya rantai pasok otomotif dan elektronik Thailand untukIndonesia. Tentunya hal ini bisa memberikan tekanan juga pada pabrikan di Indonesia karena sebagian suku cadangnya didatangkan dari Thailand. https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-8027906/dampak-ke-ekonomi-ri-jika-perang-thailand-vs-kamboja-berlarut-larut

Kedua, nilai impor RI dari Thailand (terutama beras dan gula) lebih besar daripada ekspor RI ke Thailand. Kita tahu bahwa Thailand merupakan pemasok beras terbesar bagi Indonesia. Sepanjang Januari-November 2024, volume impor beras Indonesia mencapai 3,85 juta ton. Pada Januari 2024 saja, impor beras dari Thailand mencapai 443 ribu ton.https://databoks.katadata.co.id/perdagangan/statistik Artinya, hal ini bisa menjadi masalah, jika Indonesia belum mampu swasembada beras.

Ketiga, peluang bagi Indonesia, karena investor di kedua negara bisa saja pindah ke Indonesia. Keempat, potensi bagi pariwisata Indonesia. Sebab, Thailand yang tiap tahunnya kedatangan 35 juta orang wisatawan asing dan  Kamboja sekitar 6,2 juta, bisa saja tak lagi menjadi favorit bagi wisatawan asing. Hal ini bisa membuka peluang bagi Indonesia, asalkan promosi dan  infrastruktur pendukung pariwisata Indonesia terus dibenahi.

Bagi Indonesia sebagai anggota ASEAN, bila konflik Thailand dan Kamboja berkelanjutan, bisa mencoreng reputasi ASEAN. Sebab hal itu menunjukkan kegagalan mediasi multilateral ASEAN Way, sekaligus melemahkan kredibilitas Indonesia sebagai natural leader.

Ada banyak jalan yang bisa Indonesia tempuh, dalam mengupayakan penyelesaian konflik Thailand Kamboja ini. Pertama, melalui peran optimal Presiden Prabowo, untuk memperkuat posisi Prabowo sebagai deal-maker Indo-Pasifik. Termasuk dengan  memanfaatkan kedekatan pribadi dengan Trump untuk mendorong intervensi AS.

Kedua, melalui  Menlu RI Sugiono, Indonesia dapat meluncurkan shuttle diplomacy Bangkok-Phnom Penh dengan menawarkan JBC+ under ASEAN supervision. Indonesia dapat  memanfaatkan pengalaman JIM yang dilakukan Menlu Ali Alatas untuk membangun trust.

Leave a Reply

Close Menu