MENITIP ASA PADA KOMITE REFORMASI KEPOLISIAN RI

MENITIP ASA PADA KOMITE REFORMASI KEPOLISIAN RI

Penulis: Justin Djogo M.A, MBA (Direktur Kajian Luar Negeri Balitbang DPP Partai Golkar)

Dua dekade setelah Polri dipisahkan dari ABRI melalui UU No. 2/2002, tuntutan publik agar institusi ini kembali direformasi menguat. Presiden Prabowo Subianto menjawabnya dengan membentuk Komite Reformasi Polri (KRP) . Kini seluruh harapan publik bertumpu pada kemampuan KRP menata kembali Polri melalui tiga jalur: reformasi struktural, instrumental, dan kultural.
KBBI mendefinisikan reformasi sebagai perubahan drastis untuk perbaikan. Untuk kepolisian, itu berarti pembaruan serentak pada payung hukum, kapasitas manusia, serta praktik operasional sehari-hari. Bila ketiganya tidak berjalan bersamaan, reformasi hanya menjadi slogan.

Menimbang Reformasi Struktural Polri
Reformasi struktural Polri berakar pada pemisahan TNI–Polri melalui Ketetapan MPR VI dan VII/2000, yang menegaskan Polri sebagai institusi sipil dengan mandat Kamtibmas dan penanganan tindak pidana umum. Namun setelah pemisahan dua puluh tahun lalu, posisi Polri dalam sistem presidensial Indonesia masih mengandung pertanyaan penting: apakah Polri sebaiknya ditempatkan di bawah kementerian, atau tetap langsung berada di bawah Presiden seperti sekarang? Opsi pertama memerlukan revisi UU dan berpotensi memperkuat kontrol sipil; opsi kedua mempertahankan kekuatan Polri sebagai lembaga pusat. Bambang Widodo Umar dalam Kompas (2010) mengingatkan bahwa lembaga sipil bersenjata tanpa kontrol politik yang memadai rawan menyerap kekuatan berlebih.
Kemandirian Polri pasca-pemisahan membuat institusi ini memiliki otoritas penuh atas manajemen internal, kebijakan operasional, dan penggunaan kekuatan. Namun pertanyaan mendasarnya tetap sama: mengapa karakter sipil Polri tidak menjadi semakin kuat? Inilah ruang kerja KRP: memperbaiki struktur agar Polri tumbuh sebagai organisasi sipil yang transparan, profesional, dan akuntabel. Setiap unit, dari Polda hingga Polsek, mestinya mencerminkan tata kelola sipil, bukan semangat komando militer.
Pada saat yang sama, kewenangan Polri dalam pemberantasan terorisme melalui Densus 88 perlu ditata ulang. Dasar hukum Densus 88 jelas—Keputusan Kapolri No. 30/VI/2003 dan diperkuat Perkap No. 23/2011—tetapi kritik mengenai lemahnya pengawasan tidak boleh diabaikan. Pengamat ISESS, Bambang Rukminto, menyatakan minimnya kontrol membuat pelanggaran aparat tak jarang terjadi, termasuk kasus pembunuhan sopir taksi online oleh anggota Densus (Kompas TV, 2023). Peran KRP adalah memastikan unit penting seperti ini bekerja dalam kerangka hukum yang lebih akuntabel.

Reformasi Instrumental Polri
Reformasi instrumental adalah kerja teknis dan jangka panjang: hukum mesti jelas, organisasi harus profesional, dan teknologi wajib bekerja. Putusan MK terbaru yang melarang anggota Polri aktif menduduki jabatan sipil merupakan langkah baik untuk membatasi konflik kepentingan. Namun persoalan besar tetap mengintai: promosi jabatan senior yang belum sepenuhnya berbasis merit. Rukminto dari ISESS menyebut “meritokrasi belum menjadi kultur di kepolisian,” terutama ketika rotasi pejabat bintang tiga dilakukan tanpa indikator kinerja yang transparan. KRP perlu merumuskan sistem promosi berbasis portofolio dan evaluasi objektif, diaudit oleh badan eksternal seperti Kompolnas.
Kompolnas sendiri adalah mandat UU Polri Pasal 37 ayat (2) dan diatur Perpres 17/2011 sebagai pengawas eksternal. Namun tanpa kewenangan eksekusi, Kompolnas sering hanya memberi rekomendasi tanpa daya paksa. Tragedi di Propam—terutama kasus Ferdy Sambo—mengingatkan bahwa pengawasan internal pun sangat rentan terhadap penyimpangan. KRP harus mengkaji ulang arsitektur pengawasan agar Polri memiliki sistem kontrol yang bekerja, bukan sekadar tercatat dalam peraturan.
Isu krusial lain adalah anggaran. UU 2/2002 tidak menjelaskan secara eksplisit sumber pembiayaan Polri dan mekanisme akuntabilitasnya. Kekosongan ini membuat advokasi transparansi sulit dilakukan. Publik jadi tak memiliki dasar hukum untuk menuntut realisasi anggaran yang terbuka, padahal APBN diwajibkan transparan menurut Pasal 23 UUD 1945. Anggaran Polri 2025 mencapai Rp126 triliun, tetapi tanpa publikasi rutin realisasi anggaran, daftar kontrak, dan indikator outcome, efektivitasnya tak bisa diuji. Situasi kian janggal karena Kompolnas—sebagai lembaga kecil—justru memiliki aturan pembiayaan lebih terang daripada Polri yang memegang kewenangan besar.
Pada sisi sumber daya manusia, seluruh siklus karier polisi perlu dibangun ulang. Rekrutmen idealnya memakai tes psikometri terstandar, background check independen, serta ujian kompetensi objektif. Pendidikan bekerja dengan kurikulum nasional seperti model College of Policing di Inggris untuk memastikan profesionalisme dan pengendalian kekuasaan. Kinerja polisi harus diukur lewat indikator yang dirasakan warga: survei kepuasan publik, rasio penyelesaian aduan, kepatuhan HAM, dan laporan pungli. Data dipublikasikan per triwulan agar publik melihat sendiri performa aparat di lapangan.
Perlindungan whistleblower perlu menjadi mekanisme nyata: laporan anonim, perlindungan hukum, dan jalur eksternal seperti Kompolnas, BPK, atau aparat penegak hukum bila laporan tak diproses. Banyak standar antikorupsi internasional yang bisa diadopsi, termasuk standar batas waktu penyelesaian aduan dan pelacakan digital.
Pembenahan tata kelola layanan publik tidak kalah penting. Layanan Polri tidak akan modern bila masih bergantung pada tatap muka dan catatan manual. Digitalisasi penuh pada SIM, SKCK, laporan polisi, antrean elektronik, pembayaran nontunai, dan audit trail akan menciptakan jejak kerja yang rapi. Teknologi seperti bodycam, rekaman front-desk, dan perekaman panggilan darurat terbukti efektif di Inggris dalam mengurangi salah prosedur. Namun penggunaan teknologi harus dibatasi pagar hukum: perlindungan data, tata kelola bukti digital, dan pengawasan independen agar rekaman tidak dipakai secara sewenang-wenang.

Korupsi, Arogansi tapi Represif: Cacat Kultural?
Pada tingkat kultural, tantangan terbesar Polri justru berada di ranah persepsi publik. Wajah hedon aparat sering menjadi pemicu kemarahan warga. Kasus Aiptu Mustahir di Sulawesi Selatan misalnya, ketika istrinya memamerkan Harley Davidson dan Rubicon hingga diselidiki Polda Sulsel (Fajar.co.id, 2023). Tidak lama kemudian, anak Kapolda Kalimantan Selatan, GAP, viral karena menaiki jet pribadi dan berbelanja miliaran rupiah; kasus ini bahkan mendorong DPR meminta Kapolri menegur Kapolda Kalsel (Media Indonesia, 2024). Publik bertanya: bagaimana gaya hidup seperti itu mungkin terjadi dengan penghasilan resmi aparat? Kecurigaan tentang “elemen gelap” dalam ekonomi internal Polri tumbuh semakin keras.
Fenomena ini menyatu dengan kasus besar seperti skandal Firli Bahuri, seorang polisi aktif yang memimpin KPK tetapi akhirnya terseret kasus etik dan gratifikasi. Alih-alih menjadi jembatan profesionalisme antarlembaga, kasus ini justru memperdalam keraguan publik. Polri juga mengawasi Badan Narkotika Nasional (BNN), tetapi efektivitas pemberantasan jaringan besar narkoba masih sering dipertanyakan. Rentang fungsi yang terlalu luas membuat Polri tampak seperti gurita: hadir di mana-mana, tetapi tidak selalu efektif di titik yang paling menentukan.
Kombinasi struktur yang lemah, mekanisme teknis yang belum transparan, dan budaya organisasi yang masih menyisakan patronase membuat reformasi Polri harus berjalan simultan. KRP memikul beban politik dan moral yang besar: memastikan bahwa aparat bersenjata terbesar di Indonesia bekerja dalam kerangka demokrasi yang sehat. Bila reformasi struktural, instrumental, dan kultural bergerak serentak, Polri dapat kembali dipercaya sebagai penjaga keamanan yang profesional dan menghormati warga. Dari situ, kepercayaan publik bukan hanya pulih, tetapi tumbuh kembali.

Leave a Reply

Close Menu