Penulis: Justin Djogo M.A, MBA (Direktur Kajian Luar Negeri Balitbang DPP Partai Golkar).
Timor Leste sudah mengakhiri status “tamu tetap” di ASEAN dan mengubahnya menjadi aktor sah dalam diplomasi regional. Sejak bergabung sebagai anggota ke-11 ASEAN pada Oktober 2025 ini, kini Timor Leste punya hak bicara, hak membentuk konsensus, dan akses ke mekanisme pembangunan ASEAN.
Timor Leste, negara yang belum 30 tahun usianya, dulu dianggap catatan kaki dalam sejarah. Kini Timor Leste sudah berdiri gagah di atas gelanggang politik regional, sebagai anggota terbaru ASEAN.
Timor Leste menyadari kekuatan geopolitik yang dimilikinya, antara lain: Selat Ombai-Wetar dan Palung Timor.
Kekuatan Geopolitik Timor Leste
Selat Ombai Wetar di utara Timor Leste adalah kawasan air gelap sedalam 3 km, yang cukup dalam untuk dilewati kapal selam nuklir. François-Xavier Bonnet, Charting submarine routes in Southeast Asia 2020. Laut di depannya menyimpan bukan hanya garam, tapi juga kecemasan dan strategi Indo-Pasifik.
Letaknya di bibir Selat Ombai-Wetar —rute laut senyap yang digunakan kapal selam Amerika dan Australia menuju Samudra Hindia, menurut kajian maritim 2019–2021 dan analisis RAND serta Naval War College— membuat keberadaan Timor Leste tak bisa dianggap ornamen. Dari sisi geopolitik, Ombai–Wetar menjadi koridor laut dalam yang dalam kajian US Naval War College dan RAND Corporation disebut sebagai “deep-water gateway” antara Pasifik Barat dan Samudra Hindia. Jalur ini berperan sebagai rute transit kapal selam strategis, karena memiliki kedalaman lebih dari 3.000 meter dan bebas dari karang dangkal.
Laporan RAND Corporation “Maritime Security in the Indo-Pacific: The Ombai-Wetar Corridor, 2019 dan kajian oseanografi dari CSIRO Australia tahun 2020, menunjukkan bahwa Ombai-Wetar dan Laut Timor berinteraksi secara ekologis dan strategis. Artinya, Selat Ombai–Wetar adalah “pintu air” di timur laut Timor Leste, dan Laut Timor di sebelah selatan adalah halaman yang menerima dan menyalurkan arus ke arah Samudra Hindia serta pantai utara Australia.
Bagi para diver (penyelam), Laut Timor yang tergolong “relatif dangkal”, rata-rata 400 meter, tapi punya titik kedalaman yang sensasional: Palung Timor. Palung yang puncak kedalamannya mencapai 3.300 meter di bawah permukaan laut ini, merupakan kelanjutan dari Palung Sunda, yang memisahkan lempeng tektonik Indo-Australia dan Timor. Dan pada Palung Timor itu terdapat kawah asteroid selebar 30 mil di dasar laut, disebut Big Bank Shoals, berupa gugusan terumbu dan dataran laut dangkal (shoals) super indah. Kajian “Biogeography of the Timor Sea” oleh Geoscience Australia (2011), menggambarkan Big Bank Shoals sebagai habitat penting bagi terumbu karang laut dalam, spons, dan populasi ikan pelagis besar yang bermigrasi antara perairan Indonesia dan Australia. Geoscience Australia: Marine Biodiversity of the Big Bank Shoals (2011).
Namun pandangan para geolog —terutama para ahli geologi di industri perminyakan— berbeda dengan diver. Karena Big Bank Shoals di timur laut Timor Leste ini, merupakan bagian dari struktur cekungan Bonaparte Basin yang membentang di bawah Laut Timor, dan dikenal sebagai wilayah dengan potensi hidrokarbon yang besar. Secara geologis, kedalaman Big Bank Shoals yang relatif “cetek” —antara 50 hingga 200 meter— memungkinkan eksplorasi minyak dan gas laut dalam yang efisien.
Dengan kata lain, kawasan yang berada dalam zona maritim ini kerap dikaitkan dengan wilayah Timor Gap. Karena Big Bank Shoals berada di jalur yang sama dengan lapangan minyak dan gas bawah laut seperti Lapangan Bayu-Undan, Laminaria-Corallina, dan Greater Sunrise: lapangan minyak dan gas paling terkenal, yang menjadi sumber sengketa selama dua dekade antara Australia dan Timor Leste dalam negosiasi batas maritim dan pembagian pendapatan minyak. Australian Petroleum Production and Exploration Association (APPEA Reports 2017–2019), dan kajian oseanografi oleh CSIRO Marine and Atmospheric Research, Timor Sea Environmental Baseline Studies (2012).
Yang Masih Ringkih dari Loro Sa’e
Sengketa Timor Leste dengan Australia atas Greater Sunrise berhasil diatasi dengan Maritime Boundaries Treaty 2018 —-perjanjian batas maritim antara Timor-Leste dan Australia, ditandatangani di markas besar PBB di New York pada 6 Maret 2018— berbeda dengan sengketa dan penyelesaian atas Bayu-Undan dan lapangan Laminaria-Corallina.
Bayu-Undan penting bagi Timor Leste, karena menjadi sumber utama pendapatan negara tersebut selama hampir dua dekade. Namun ladang minyak yang menyumbang lebih dari 90 persen pendapatan ekspor negara itu, produksinya menurun sejak 2021. Pada 2023, ladang itu resmi ditutup untuk eksploitasi komersial, tetapi sedang dikaji kembali untuk digunakan sebagai proyek penyimpanan karbon (carbon capture and storage) yang akan dioperasikan bersama Santos (Conoco Phillips) dan Timor-Leste.
Bila Timor-Leste hari ini masih menggantungkan anggaran negara pada minyak dan gas, dokumen Bank Dunia dan IMF memandang cemas. Karena, bila harga minyak turun atau ladang Bayu-Undan menipis, anggaran Timor Leste bisa goyah. Di luar sektor migas, infrastruktur di sana masih tergolong rapuh, birokrasi muda, dan kapasitas fiskal terbatas.
Dalam lanskap multipolar dunia hari ini, keinginan Timor Leste bergabung dengan ASEAN bukan strategi dagang semata, atau diplomasi yang berhitung. Bergabung dengan ASEAN adalah usaha memasuki ruang tempat ia diperlakukan sebagai sesama, dan keluar dari kotak bernama “proyek kemanusiaan”. Pada masa lalu, kapal perang, investor, hingga ideologi datang berturut-turut ke Timor Leste, seperti tamu yang mengaku sahabat. Tetapi sejatinya mereka membawa agenda masing-masing dalam saku jasnya.
Timor Leste kini menegakkan martabat: bicara soal hak asasi, tapi tahu martabat manusia tak hanya muncul dari perjanjian internasional. Melainkan dari lumbung padi, dari meja musyawarah suku, dari adat yang menjaga harmoni lebih lama daripada hukum negara.
Namun dunia bergerak tanpa menunggu kelahiran teori-teori baru. Barang, uang, dan manusia melintasi batas tanpa perlu bertanya ideologi. ASEAN bukan hanya forum budaya dan deklarasi damai, tapi juga rumah bagi jaringan gelap: narkotika, perdagangan manusia, penyelundupan satwa, penipuan daring yang menjaring korban dari Bangkok sampai Manila. Apakah Timor Leste masuk ke arena, dengan perisai yang masih tipis?
Skandal iGaming dan penggerebekan pusat penipuan digital di Oecussi tahun 2025 membuka sisi lain negara kecil ini: regulasi yang bocor, aparat penegak hukum yang belum sepenuhnya siap menghadapi kejahatan lintas-batas. Kenyataan itu muncul lebih cepat dari yang dibayangkan. Lisensi perjudian daring—yang sempat dielu-elukan sebagai pintu investasi—ditarik kembali setelah muncul bayangan mafia yang menyelinap lewat kabel internet. Tak lama kemudian, aparat menggerebek pusat penipuan digital di Oecussi.
Pertanyaan yang menggantung di udara bukan lagi tentang demokrasi atau geopolitik, tapi siapa yang membuka pintu, dan untuk siapa sebenarnya pintu itu dibuka? Timor Leste datang membawa kopi, udang beku, dan niat baik, tapi yang datang mengetuk juga modal gelap dan server penipuan. Di mata negara besar, ini sekaligus simpati dan kekhawatiran.
Besarnya Peluang, Adanya Tantangan
Namun keanggotaan bukan sekadar rapat dan piagam. Timor Leste membuka pintu pada pasar ASEAN, dari tenaga kerja hingga investasi. Ia memberi peluang integrasi logistik dan pembangunan kawasan perbatasan. Ia menurunkan risiko intervensi unilateral karena kini Timor-Leste dilindungi oleh mekanisme regional. Ia juga memungkinkan lahirnya kerja sama tiga arah—Dili, Jakarta, Canberra—terutama soal perbatasan maritim dan keamanan laut.
Dari segi keamanan, hal ini memperkuat Komunitas Politik-Keamanan ASEAN (APSC), yang meningkatkan kewaspadaan maritim di Laut Timor terhadap perdagangan manusia dan pembajakan.https://www.internationalaffairs.org.au/australianoutlook/the-wait-ends-east-timor-becomes-aseans-newest-member/
Ada lapisan lain yang tak kalah menarik, yang dapat menjadi tantangan: citra politik Timor Leste. Dunia luar kerap menyebutnya negara paling demokratis di Asia, dengan pemilu damai dan kebebasan berbicara. Tetapi kekuasaan masih bersandar pada tokoh senior, hubungan suku, dan sisa-sisa solidaritas masa perlawanan. Lembaga modern yang dibangun PBB menumpuk di atas fondasi adat. Negara ini jadi semacam hibrida: tampak demokratis di luar, tetapi sehari-hari berjalan lewat kesepakatan personal, patronase, dan rasa hormat pada usia.
Geopolitik dan geoekonomi berkelahi pelan di meja pemerintahan. Yang satu bicara tentang selat, pangkalan militer, dan rasa curiga antarnegara. Yang lain bicara tentang pelabuhan baru, pinjaman berbunga lunak, dan upacara peresmian gedung kementerian. Australia, Uni Eropa, Jepang, Korea Selatan mengirim pelatih polisi dan konsultan pemilu; Tiongkok mengirim semen, pekerja konstruksi, dan janji dermaga. Semua memakai bahasa berbeda, tapi tujuannya sama: menanam pengaruh di negeri yang berdiri di tepi samudra dan sejarah. Timor Leste belajar menari di atas garis tipis itu—menjaga hubungan dengan semua, tak bersandar pada satu pun.
Tantangan lain muncul dari daya tarik geografis itu sendiri. China, Australia, dan Amerika sudah menaruh mata: investasi pelabuhan, jaringan kabel laut, hingga usulan pelatihan militer. Bila diplomasi Dili tak cukup luwes, ia bisa berubah menjadi arena tarik-menarik pengaruh, bukan subjek politik bebas-aktif seperti yang diimpikannya.
Australia juga akan diuntungkan dari keanggotaan penuh Timor Leste.Timor Leste yang aman dan makmur akan mengekang arus pengungsi dan penangkapan ikan ilegal, sehingga mengurangi ketegangan di perbatasan Australia. Secara ekonomi, hal ini memperlancar hubungan trilateral dengan Indonesia melalui proyek-proyek energi bersama di Celah Timor, yang berpotensi membuka potensi cadangan gas senilai $10 miliar. Secara diplomatis, ASEAN yang diperkuat memperkuat strategi “Indo-Pasifik” Australia, yang akan melawan pengaruh Tiongkok.https://www.internationalaffairs.org.au/australianoutlook/the-wait-ends-east-timor-becomes-aseans-newest-member/
Sebaliknya, bila integrasi Timor Leste ke ASEAN tak berjalan mulus sesuai harapan —entah karena korupsi, lambatnya adopsi hukum ASEAN, atau instabilitas politik domestik— maka reputasi ASEAN sebagai organisasi regional yang matang akan retak.
