Penulis: Justin Djogo M.A, MBA (Direktur Eksekutif Forum Dialog Nusantara/FDN, Direktur Kajian Politik dan Luar Negeri Balitbang DPP Partai Golkar.
Demonstrasi besar bersifat anarkis, erat kaitannya dengan selubung Fog of War, kabut perang istilah yang digunakan Carl von Clausewitz. Kekacauan informasi dan tekanan emosional, menyelinap rumor dari video yang dipotong sepihak, hingga hoax yang semakin memperkeruh persepsi dan menyesakkan akal sehat. Kabut yang datang melalui kabar yang tersendat, berkeliaran dengan seruan amarah massa, sirene ambulans, dentuman gas air mata, dan loncatan headline viral, sehingga aparat dan rakyat sama-sama beroperasi dalam informasi yang hanya sepotong, salah tafsir, atau sengaja dibuat kacau.
Inilah kabut yang menenggelamkan realita semua orang pengunjuk rasa, aparat keamanan, pemerintah, dan publik masing-masing berjuang mencari kebenaran atas hal yang sebenarnya terjadi dan siapa yang harus dipercayai. Dan masyarakat atau bahkan kita menjadi lupa pada akar masalahnya: siapa yang paling diuntungkan dengan gagal disahkannya UU Perampasan Aset oleh DPR? Jangan-jangan, mereka yang diuntungkan itu selama ini menjadi kerikil di sepatu Presiden. Bisa jadi: oligarki.
Oligarki: Kerikil dalam Sepatu Presiden
Menjawab tuntutan demonstran, Presiden Prabowo sudah mengambil langkah-langkah darurat: membatalkan perjalanan internasional, menjanjikan pencabutan tunjangan DPR, dan meningkatkan penindakan keras. Namun, apakah langkah itu respons adil atau justru mempertebal ketidakpercayaan? Tuntutan awal demonstran belum terjawab, karena oligarki kotor sebagai empunya dana dan berkepentingan dan tertundanya UU Perampasan Aset, yang belum tersentuh.
Mengapa perlu membahas oligarki kotor itu? Pertama, lembaga yang disasar kemarahan massa, layak dilempari pertanyaan sederhana: untuk siapa kalian bekerja? Dan bagi kalangan yang turun ke jalan, juga layak disembur pertanyaan: siapa menggerakkan (atau bahkan mendanai) kalian?
Mengemuka anggapan di banyak tayangan media sosial seperti podcast dan diskusi publik semacamnya bahwa demonstrasi tersebut digerakkan oleh kekuatan “oligarki pro- Joko Widodo”. Alasannya: para oligark itu merasa tak diikutsertakan dalam gerbong barunya Presiden Prabowo. Alasan lainnya, bahwa kubu Jokowi ingin mendongkel Presiden Prabowo, lalu menaikkan Gibran menjadi Presiden. Memang ini seperti dugaan liar yang belum terbukti.
Tuduhan keras dan nyaris terdengar seperti fitnah, rasanya sulit dibayangkan. Mengingat sosok Jokowi yang merebut hati rakyat Indonesia dengan tampilan “figur sederhana dan merakyat” pada awal kekuasaannya kini disorot karena lingkaran bisnis dan politik di sekitarnya yang tak masuk akal. Tapi bukankah menurut Machiavelli: tak ada yang mustahil dalam politik?
Oligarki istilah yang dalam wacana politik Indonesia pascareformasi, kerap dipakai untuk menuding kongsi lama antara pengusaha dan penguasa seakan menemukan relevansinya lagi. Sehingga wajar bila kita bertanya: apakah demonstrasi ini sungguh “organik”, atau bagian dari pertarungan antarkelompok elit yang ingin menggeser keseimbangan?
Fenomena ini mengingatkan pada teori klasik tentang politik transaksional. Dalam hal ini, demonstrasi bisa menjadi alat tekan dalam negosiasi kekuasaan, dipakai untuk menekan pihak tertentu, sambil menyembunyikan sponsor sejatinya.
Kecurigaan bahwa demonstrasi hari ini didalangi oleh oligarki Jokowi, menunjukkan paradoks dalam politik kontemporer Indonesia. Jika dulu oligarki tampil lugas, dengan dominasi keluarga-keluarga konglomerat, kini ia lebih cair. Karena ia menyusup lewat jaringan partai politik, investasi, dan penguasaan sumber daya alam.
Apabila demonstrasi hari ini dituding sebagai produk oligarki, maka itu berarti salah satu faksi di dalam oligarki sedang menekan faksi lain. Kita tertegun jika Jokowi disebut sebagai poros, yang di sekitarnya ada kepentingan bisnis infrastruktur, tambang, energi, hingga teknologi.
Oligarki dan Mari Kita belajar dari Georgia
Situasi mirip seperti situasi ini, pernah terjadi di Georgia, melalui Revolusi Mawar pada 2003. Awalnya gegara pemilu parlemen yang dinilai curang. Lalu percikan ini meledak menjadi demo besar, karena bensinnya sudah terkumpul: korupsi, kemiskinan, dan frustasi atas rezim Eduard Shevardnadze yang makin tak efektif. Ribuan warga, mahasiswa, dan aktivis memenuhi jalan-jalan di ibu kota Tbilisi, membawa mawar merah muda sebagai simbol perlawanan damai. Mikheil Saakashvili, wajah muda reformis, memimpin gelombang itu masuk ke gedung parlemen, memaksa Shevardnadze mundur tanpa tembakan pun dilepaskan.
Saakashvili menjabat dengan dukungan publik yang hampir tanpa tanding, dan di awal pemerintahannya, reformasi tampak jadi kenyataan. Birokrasi disederhanakan, kepolisian dibersihkan dari korupsi kecil-kecilan, dan hubungan dengan Barat diperkuat. Georgia bergerak cepat memposisikan diri sebagai mitra potensial NATO dan Uni Eropa, sementara mengguncang jejaring kekuasaan lama yang terhubung ke Moskow. Tapi percepatan ini membawa dampak samping: kekuasaan semakin terkonsentrasi di tangan presiden, media yang kritis ditekan, dan konflik lama di Abkhazia dan Ossetia Selatan dipanas-dinginkan sampai pecah perang lima hari dengan Rusia pada 2008.
Euforia Revolusi Mawar pun memudar, menyisakan negara yang ingin modern tapi terus diseret ke pusaran geopolitik.
Di tengah turbulensi itu, Bidzina Ivanishvili, miliarder dengan kekayaan yang melampaui anggaran negara, muncul sebagai pemain baru. Lahir di desa kecil, ia membangun kerajaan bisnis di Rusia era privatisasi brutal 1990-an, lalu pulang ke Georgia dengan kekayaan, jaringan, dan ambisi politik. Pada 2012, partai yang ia dirikan, Georgian Dream, menumbangkan Saakashvili melalui pemilu, bukan revolusi.
Ivanishvili sempat menjabat perdana menteri, lalu mundur, tetapi pengaruhnya tak ikut surut. Hingga kini, banyak analis menyebut Georgia sebagai negara yang presidennya bisa berganti, tetapi garis kebijakannya tetap dalam orbit Ivanishvili. Dari luar, ini terlihat seperti kompromi: stabilitas politik, ekonomi yang tumbuh, hubungan yang pragmatis dengan Barat dan Rusia. Dari dalam, ia terasa seperti regresi: oligarki yang dulu menopang revolusi kini mengatur jalannya, menjadikan demokrasi Georgia bukan lagi sebagai medan kontestasi ide. Melainkan permainan catur di papan yang bidaknya dimiliki segelintir orang.
Belajar dari Georgia, sebelum keadaan bertambah buruk, Bapak Presiden sebaiknya mengambil langkah yang lebih tegas: membersihkan kerikil dalam sepatu, yang bakal mengganggu langkah Bapak Presiden. (*)