Belum semua orang bisa beruntung memiliki tanah. Data Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional Nusron Wahid mengungkapkan bahwa 48% dari 55,9 juta hektar lahan bersertifikat di Indonesia, dikuasai oleh 60 keluarga saja.
Mafia?Tanah, Siapa Mereka?
“Mafia?tanah adalah sindikat terorganisir yang menggunakan dokumen dan jaringan untuk merebut lahan secara sistematis.”
Istilah mafia tanah mengemuka ketika ada kasus tanah rakyat “pindah tangan” menjadi milik pihak lain. Ujungnya konflik agraria, dan warga yang terusir. Dan semua itu membentuk retakan yang tak kasatmata dalam fondasi negara. Sayangnya, mafia tanah seolah tak (mau) menyadari hal itu.
Mafia tanah adalah aktor sistemik berwujud individu, kelompok, atau badan hukum, yang sengaja merebut lahan rakyat atau negara menggunakan metode legal dan ilegal yang terencana. Mereka manipulasi dokumen, seperti sertifikat palsu, pemalsuan akta, hingga pencatatan fiktif. Data ATR/BPN mencatat pada tahun 2023 terjadi 86 operasi terhadap mafia?tanah dengan 159 tersangka.
Komplotan ini juga bekerja sama dengan oknum notaris, aparat desa, bahkan oknum pegawai lembaga terkait —untuk menerbitkan sertifikat atas tanah yang bukan milik mereka. Lihat saja polanya: bila ada rencana proyek infrastruktur, maka sertifikat ganda dipakai untuk menekan harga dan mempercepat alih kepemilikan. Akibatnya, kepastian hukum warga melayang.
Studi yuridis dari Undip dan UI menyebut tren ini meningkat signifikan sejak tahun 2018 hingga sekarang. Mereka bisa leluasa karena adanya celah dalam sistem administrasi tanah dari pencatatan di tingkat desa, akurasi data BPN yang belum lengkap, hingga lemahnya verifikasi dokumen memberi ruang untuk pemalsuan.
Studi kasus PN Tanjungpinang (2022) mengungkap pelaku menyuap kepala desa, memalsukan girik, dan menggunakan notaris palsu untuk menerbitkan AJB serta balik nama sertifikat tanpa izin pemilik sah.
Sistem ini bekerja seperti “land banking ilegal”. Yakni ratusan bidang tanah kecil dikumpulkan secara tersembunyi dan disatukan dalam satu nama investor atau perusahaan. Ketika warga menggugat, mereka dihadapkan pada tumpukan dokumen palsu dan jaringan legal profesional pelaku—sehingga korban sering kalah di pengadilan.
Menggunakan hukum sebagai senjata, mafia tanah menyamarkan tindakan kriminal dalam kerangka legal. Ini bukan sekadar konflik agraria, tapi serangan terstruktur terhadap kedaulatan warga dan wilayah. Namun sejatinya: mafia tanah tak berbuat tanpa permintaan dari pihak “pembeli” berskala perusahaan besar (korporasi), pemodal, ataupun oligarki.
Oligarki Lokal dan Korporasi: Dalang atau Proxy?
“Baik oligarki maupun tiran tidak mempercayai rakyat, dan karena itu mencabut senjata mereka.” John F. Kennedy
Korporasi besar yang terlibat dalam sengketa agraria, namanya terpampang jelas izin usaha pertambangan, HGU perkebunan, hingga peta tata ruang wilayah. Tentu kita tak tahu, siapa pemilik sebenarnya dari perusahaan itu. Di balik nama PT atau CV, terdapat pemegang saham “lintas sektor”, yang kita stempel sebagai “oligarki”.
“Oligarki,” kata John Adams, Presiden ke-2 AS, “adalah ketika kekuatan ekonomi terkonsentrasi di beberapa tangan, maka kekuatan politik mengalir ke para pemiliknya, dan menjauh dari warga negara. Pada akhirnya menghasilkan oligarki atau tirani.”
(Neo) liberalisme yang menggeruduk Indoneisia pascareformasi 1998 berupa kebijakan “neolib” seperti privatisasi dan deregulasi— membentuk sistem yang memungkinkan para pemilik-pemilik modal untuk merangkul kelompok elit yang memiliki sumber daya dan koneksi. Maka para pemilik modal kerap menempatkan para mantan pejabat pemerintah, maupun petinggi daerah untuk menempati posisi komisaris perusahaan tambang, konsultan izin lokasi, untuk proyek-proyek yang “membutuhkan tanah”. Contohnya: proyek tambang maupun agribisnis.
Konsentrasi kekayaan dan kekuasaan di tangan segelintir orang yang membentuk oligarki ini, kerap kali berbenturan dengan kepentingan rakyat. Di sinilah “mafia tanah” tadi dibutuhkan, melalui permainan regulasi.
Konflik tanah pun terjadi. Sebuah studi dari Global Land Grab menempatkan Indonesia dalam lima besar negara dengan tingkat akumulasi tanah tertinggi di dunia. Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Dewi Kartika menyebutkan ada perusahaan yang baru mengantongi izin lokasi, tanpa sosialisasi dan persetujuan (free prior informed consent/FPIC) lalu beroperasi begitu saja. Menurut Dewi, perusahaan itu bertindak sebagai penguasa dan pemilik tanah.
Namun benarkah mereka—korporasi dan oligarki lokal—adalah dalang utama? Atau justru hanya pion dari kekuatan yang lebih besar? Dalam banyak kasus, perusahaan-perusahaan ini bertindak sebagai pelaksana teknis dari arus modal global.
Mereka menjadi tangan panjang dari perusahaan induk di luar negeri, atau mendapat suntikan dana dari lembaga keuangan multinasional. Tren ini melonjak sejak 2008, ketika krisis keuangan global membuat investor asing mencari aset nyata —land as collateral— tanah Indonesia menarik sebagai ‘safe investment’.
Misalnya, proyek Meikarta yang ramai diperbincangkan. Bukan hanya perkara tata ruang atau pelanggaran perizinan. Ia merupakan bagian dari investasi lintas negara, dengan pendanaan yang berasal dari beberapa lembaga asing. Termasuk bank investasi dan pemilik saham luar negeri yang berafiliasi dengan grup properti besar di Asia Timur. Proyek sebesar itu tidak akan berjalan tanpa dukungan jejaring politik dan proteksi hukum tingkat tinggi.
Konflik Tanah dan Ancaman Kedaulatan Negara
Ada banyak alasan bagi negara-negara asing yang berminat pada tanah di Indonesia. Pertama, karena potensi sumber daya mineral, akses ke jalur logistik laut, dan kemungkinan ekspansi energi hijau. Kedua, karena secara geopolitik, posisi pulau-pulau di Indonesia yang tersebar di segenap pelosok tanah air, tak diimbangi oleh pengetahuan geopolitik para pemimpin daerah. Hal in menyebabkan kurangnya pengawasan.
Pertarungan atas tanah bisa berdampak terhadap kedaulatan Indonesia. Pertama, tanah strategis yang dikuasai oleh dana asing, artinya negara kehilangan kemampuan untuk mengatur distribusi nasional. Baik itu logistik pangan, infrastruktur darat dan laut, bahkan jalur evakuasi darurat. Kedua, ketergantungan pada “keputusan asing” dapat mengikat kebijakan ekonomi dan pertahanan, memengaruhi cara kita mengatur badan wilayah dan respons menghadapi krisis. Lembaga seperti AusAID, USAID, dan World Bank punya program reformasi agraria di Indonesia.
Tapi reformasi macam apa yang dirancang oleh negara-negara yang tak mengenal sistem adat? Dalam banyak dokumen, terlihat ada upaya mendesain ulang tata ruang kita dengan pendekatan Barat: berbasis profitabilitas, bukan keberlanjutan sosial. Hal ini akan melemahkan posisi Indonesia dalam menjaga integritas wilayah.
Ketiga, konflik terkait tanah dapat menjadi celah bagi kekuatan intelijen global. Karena melalui data tanah, intelijen bisa membaca pola konversi lahan, memahami sistem adat, dan menyusup lewat sistem digital. Artinya: sesungguhnya mereka sedang menggeser garis pertahanan kita. Tanah yang diambil bukan hanya sawah atau hutan—tapi terminal logistik, cadangan energi, dan jalur pertahanan. Jika tanah adalah pangkalan, maka kedaulatan adalah soal siapa yang menggenggamnya lebih dulu.
Konflik Tanah sebagai Hybrid Warfare
“The next war may not begin with a missile, but with a map — redrawn by men in suits, not soldiers.” (General Valery Gerasimov, Russian Armed Forces)
Di bawah permukaan riuh tuntutan warga, sengketa adat, dan suara lantang demonstrasi tanah, sesungguhnya sedang bergerak perlahan strategi baru dari medan yang tak terlihat. Hybrid warfare atau perang hibrida. Ia adalah pertarungan pengaruh yang membaurkan elemen militer, ekonomi, sosial, bahkan media. Dan di Indonesia, konflik agraria menjadi salah satu bentuk nyata perang hibrida dalam wujud paling senyap.
Hybrid warfare selalu dimulai dari pengaburan musuh. Di Indonesia, rakyat diajak percaya bahwa konflik tanah adalah masalah klasik antara warga dan perusahaan. Tapi di balik perusahaan, berdiri korporasi global. Di balik korporasi, ada jaringan dana dan pengaruh, termasuk melalui firma hukum internasional, bank pembangunan, bahkan negara-negara donor. Mereka datang dengan nama pembangunan, tetapi membawa agenda supremasi.
Perang hibrida juga menyasar persepsi. Medsos dibanjiri narasi penggiring simpati, membelah opini publik, bahkan memojokkan aparat negara. Tapi anehnya, dalam narasi itu tak ada pembahasan siapa pemilik saham mayoritas perusahaan, dari mana sumber dananya, dan ke mana arus keuntungannya mengalir. Negara tak perlu diserang bila kendali atas logistik, energi, dan persepsi publik telah berpindah. Dalam kondisi semacam ini, kedaulatan bukan lagi soal bendera, tapi soal siapa yang menanam tiang pancang lebih dulu.
Solusi
Yang berbahaya bagi bangsa bukan hanya perang terbuka, tapi diamnya negara saat tanah dipetakan ulang oleh kekuatan-kekuatan tak terlihat. Ketika negara tak tahu siapa pemilik sah atas sepetak tanah, maka kedaulatan kehilangan tempat berpijak.
Konflik agraria tak bisa diselesaikan semata lewat sertifikat atau redistribusi; ia menyentuh jantung pertahanan nasional. Setiap jengkal tanah yang jatuh ke tangan asing melalui mafia tanah, adalah satu meter yang menjauhkan kita dari pijakan bangsa merdeka.
Masukan solutif yang dapat menjadi pertimbangan: pertama, langkah paling awal bukan pada pembuatan kebijakan, melainkan pada pembacaan medan. Sistem intelijen pertanahan—yang mencatat siapa menjual apa, di mana, untuk kepentingan siapa—harus dibentuk. Tak cukup BPN berjalan sendiri. Perlu satu pusat kendali bersama, tempat Kementerian Pertahanan, BIN, Bakamla, hingga BSSN duduk di meja yang sama. Karena di era konsesi dan perusahaan cangkang, peta agraria lebih berbahaya dari peta tempur.
Kedua, Diperlukan satuan tugas dengan wewenang ad hoc—yang mampu membongkar jaringan mafia tanah hingga ke ruang gelap kekuasaan. Satuan tugas ini harus memiliki otoritas lintas sektor dan mampu menindak langsung, bukan sekadar menjadi badan koordinasi. Tugasnya bukan saja menyelesaikan sengketa, tapi mengurai struktur kekuasaan tanah yang telah membentuk kerajaan dalam negara.
Pemerintah telah menyadari itu, setidaknya lewat MoU antara ATR/BPN dan Kemhan. Indeks Ketahanan Nasional kini memasukkan agraria sebagai indikator strategis. Lemhannas, dengan Labkurtannas-nya, mulai memetakan konflik lahan sebagai ancaman sistemik terhadap pertahanan semesta. Namun kolaborasi antar lembaga saja belum cukup, jika aparat hukum masih berputar di sengketa administratif.
Ketiga, peran masyarakat sipil memang tak bisa disingkirkan. Tapi juga tak boleh dibiarkan menjadi pintu masuk infiltrasi asing. LSM, bila tanpa transparansi dana dan agenda, bisa menjadi jembatan kepentingan luar negeri yang dibungkus isu adat dan lingkungan. Maka, perlu garis tegas antara solidaritas rakyat dan kompromi ideologis. Dan di tengahnya, negara harus hadir bukan sebagai penonton, tetapi sebagai penjaga arah.
Keempat, Solusi tak berhenti di dalam negeri. Perjanjian investasi internasional yang memberi ruang gugatan korporasi asing terhadap negara—atas dalih pembatalan proyek agraria—harus ditinjau ulang. Indonesia harus berani menegosiasikan ulang klausul-klausul dalam Bilateral Investment Treaty, yang selama ini jadi jalan masuk penguasaan tanah lewat skema hukum global. Diplomasi agraria adalah wajah baru kedaulatan.
Kelima, Pendidikan pun tak boleh ketinggalan. Perlu ada kurikulum pertahanan kewilayahan dan kesadaran geopolitik di sekolah dan perguruan tinggi, agar generasi muda memahami bahwa konflik lahan bukan hanya cerita petani dan pengusaha. Ia adalah medan perang, tempat masa depan bangsa dipertaruhkan. Bila generasi muda tak tahu di mana ladang mereka berdiri, maka mereka tak akan tahu di mana harus bertahan.
Keenam, langkah-langkah diplomatik juga perlu ditempuh. Perjanjian investasi internasional yang memungkinkan korporasi asing menuntut negara di pengadilan arbitrase internasional atas pembatalan proyek agraria harus dikaji ulang. Indonesia harus berani menolak klausul-klausul dalam Bilateral Investment Treaty yang merugikan kedaulatan dan memberi celah eksploitasi sumber daya tanah.
Ketujuh, Solusi terakhir adalah pengembalian paradigma tanah sebagai entitas geopolitik. Pemerintah perlu memetakan ulang seluruh wilayah Indonesia berdasarkan nilai strategis: dari titik pantau laut, jalur udara taktis, hingga kawasan pemulihan pasca-bencana. Dengan peta strategis ini, kebijakan pertanahan tidak lagi ditentukan oleh harga pasar, tetapi oleh urgensi pertahanan dan pembangunan nasional jangka panjang.