Dinamika dan Peranan Industri Strategis Nasional di Masa Pandemi Covid-19

Seri Dialog I Forum Dialog Nusantara

Program pemerintah dalam Percepatan Pemulihan Ekonomi Nasional menjadi prioritas di tahun 2021, dengan alokasi anggaran sebesar Rp 699.43 Triliun. Salah satu sektor yang memiliki peran penting guna meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi ialah perindustrian, terutama sektor industri strategis yang berdampak pada kesejahteraan dan hajat hidup orang banyak.

Diskusi dan pemetaan landasan pelaksanaan dan permasalahan yang dihadapi sektor Industri Strategis Nasional di masa pandemi dan pasca pandemi Covid-19, telah dilakukan oleh Forum Dialog Nusantara (FDN) dalam Seri Dialog FDN yang pertama secara virtual pada hari Rabu 7 April 2021 pukul 16.00-18.00 WIB, dengan topik “Dinamika dan Peranan Industri Strategis Nasional Di Masa Pandemi Covid-19”.

Diskusi diawali dengan sambutan dari Ketua Penasihat FDN, Dr.Ing.- Ilham Habibie, MBA. Kemudian adara dilanjutkan dengan pemaparan dari para pembicara yang terdiri dari Fahri Hamzah, SE (Wakil Ketua DPR RI 2014-2019); Dave Laksono, MT (Anggota Komisi I DPR RI); Bobby Rasyidin, MSc., MBA (Direktur Utama PT Len Industri); dan Dr. Pratama Persadha (Chairman CISSReC).

Adapun inti pernyataan dari pembicara sebagai berikut;

Ilham Habibie: Di Negara Manapun Industri Strategis dan Public Health Banyak Diabaikan dan Dianaktirikan

Ketua Penasehat Forum Dialog Nusantara, Ilham Habibie, mengatakan di negara manapun masalah industri strategis dan kesehatan publik banyak diabaikan. Negara-negara tersebut memang menganggap penting, tetapi tidak begitu dipentingkan.

“Sudah bertahun-tahun lamanya industri strategis dan kesehatan publik di negara manapun banyak diabaikan dan dianaktirikan. Memang banyak negara tersebut menganggap penting, tetapi tidak dipentingkan,” tutur Ilham Habibie dalam sambutan webinar yang diselenggarakan Forum Dialog Nusantara bertemakan, “Dinamika dan Peranan Industri Strategis Nasional di Masa Pandemi Covid-19,” Rabu, 7 April 2021.

Selanjutnya Ilham Habibie mengatakan, industri strategis nasional sudah kita kenal semenjak Orde Baru. Sementara saat ini yang kita inginkan adalah bagaimana relevansinya untuk tahun 2021. Di mana kondisi negara saat ini jauh berbeda, karena itu seperti apa kebutuhan terhadap industri strategis itu perlu kita tinjau kembali.

“Sebenarnya tanpa adanya kesehatan publik yang bagus, bagaimana mungkin harus melayani setiap strata dalam masyarakat kita dengan kualitas yang bagus, dengan biaya yang rendah, dengan kecepatan yang memadai, karena itu quality cost delivery harus menjadi kriteria untuk public health,” tuturnya.

Hal itu juga menjadi dasar ekonomi dan perkenalan ekonomi akan kita definisikan. Jika didasarkan pada pengetahuan ekonomi, pasti akan tampak adanya masyarakat yang sehat dan baik.

Dengan perkembangan dinamika zaman, Ilham Habibie mengajak semua pihak untuk melakukan redefinisi kembali terhadap pemahaman industri strategis nasional.

“Ke depan, dalam bentuk apa pun akan sulit diimplementasikan. Ada satu hal yang perlu kita perhatikan dalam rangka industri strategis, dengan demikian perlu adanya redefinisi terhadap industri strategis nasional,” tuturnya. (*)

Fahry Hamzah: Negara Makin Hari Makin Merampas Pekerjaan Yang Dilakukan oleh Rakyat

Wakil Ketua DPR RI Periode 2014-2019, Fahry Hamzah menilai negara makin hari makin merampas pekerjaan yang dilakukan oleh rakyat. Dengan tindakan tersebut, terlihat bahwa negara tidak memerankan fungsinya melakukan pekerjaan untuk kepentingan umum.

“Negara makin hari makin berebut dengan rakyatnya, dengan merampas pekerjaan yang dilakukan oleh rakyat. Negara menganggap, mencari untung dengan bisnis dengan rakyat misalnya, dianggap sebagai pekerjaan Negara,” tutur Fahry Hamzah dalam webinar yang diselenggarakan Forum Dialog Nusantara (FDN) bertemakan, “Dinamika dan Peranan Industri Strategis Nasional di Masa Pandemi Covid-19”, Rabu 7 April 2021.

Selain itu Fahry merasakan adanya keterbalikan terhadap fungsi negara, negara justru melakukan yang seharusnya tidak dilakukan negara dan tidak melakukan yang seharusnya dilakukan negara.

“Saya menemukan dalam banyak hal, terkait definisi negara yang membias, negara mengurus yang seharusnya negara tidak mengurusnya, dan tidak mengurusi yang seharusnya diurus,” terangnya.

Teori-teori dasar tentang lahirnya negara modern, seperti kata republik atau rest publica dengan urusan umum.

“Dengan demikian, konsen negara sebenarnya mengurusi apa yang menjadi kepentingan umum. Dan konstitusi kita, UUD 1945 pasca amandemen itu mengadopsi konsepsi negara modern yang sangat jelas, sehingga di sana peran negara kemudian dibatasi, hanya yang menjadi kepentingan negara,” jelas Fahry.

Menurut pendiri Partai Gelora ini, memang nanti akan ada spesifikasi atau spesialisasi dalam konstitusi yang tidak ada di konstitusi lain, misalnya Pasal 33. Tetapi seharusnya negara itu hanya mengurus apa yang menjadi kepentingan umum.

“Paling tidak, ada dua kepentingan umum yang ada. Pertama, merupakan soft infrastruktur, terutama birokrasi yang bersifat melayani, efisien, dan profesional. Kedua, hard infrastruktur, hal ini terbatas pada penyiapan jalan. Jalan bagi air, jalan bagi kendaraan, jalan bagi api, jalan bagi angin dan sebagainya. Seperti saat kita memahami teori dalam film Avatar,” jelasnya.

Sementara itu, lanjut Fahry, private sudah masuk di dalam yang dahulunya hanya negara yang sanggup untuk melakukan. Sekarang private banyak melakukan hal-hal yang bahkan negara kalah.

“Karena itu sebenarnya pekerjaan negara itu terbatas. Peran negara makin lama makin minim sekali. Karena itu sebenarnya kemampuan negara untuk mengetahui yang rakyatnya sudah mampu lakukan dan rakyat tidak perlu ada di situ. Dan inilah hari-hari kecerdasan yang kita perlukan untuk suatu negara,” tandasnya.

“Jangan terbalik, negara makin hari makin berebut dengan rakyatnya, dengan merampas pekerjaan yang dilakukan oleh rakyat. Negara menganggap, mencari untung dengan bisnis dengan rakyat misalnya, dianggap sebagai pekerjaan negara. Padahal itu tidak perlu menjadi pekerjaan negara. Hal itu kita lihat sebagai cara memposisikan agar industri strategis nasional dapat dijalankan secara maksimal,” pungkasnya. (*)

Dave Laksono: Indonesia Perlu Persiapkan Digitalisasi Industri Maupun Literasi Terhadap Masyarakat

Anggota Komisi I DPR RI, Dave Laksono, mengatakan untuk menghadapi tantangan semakin masifnya teknologi digital, Indonesia perlu mempersiapkan diri untuk melakukan digitalisasi di bidang industri maupun literasi terhadap masyarakat. Hal itu penting untuk memberikan pelayanan yang baik sekaligus meleknya masyarakat terhadap perkembangan teknologi.

“Kita perlu mempersiapkan diri untuk melakukan digitalisasi di bidang industri maupun literasi terhadap masyarakat. Hal ini dilakukan untuk memiliki visi ke depan, terutama menuju tahun 2045,” tutur Dave Laksono dalam webinar yang diselenggarakan Forum Dialog Nusantara (FDN) bertemakan, “Dinamika dan Peranan Industri Strategis Nasional di Masa Pandemi Covid-19”, Rabu, 7 April 2021.

Untuk mendukung hal tersebut, maka diperlukan sinergitas antara Omnibuslaw dan RUU serta prioritas penyelamatan dan kemajuan ekonomi Indonesia.

Dave menjelaskan latar belakang perlunya persiapan digitalisasi dan literasi masyarakat tersebut tersebut karena melihat berbagai tantangan yang muncul, karena itu perlu adanya masuk dari berbegai pihak. Dan perlunya penguatan RUU terkait digitalisasi.

“Kita perlu melakukan penguatan terhadap RUU terkait digitalisasi, apalagi situasi pandemi Covid-19 yang berdampak terhadap ekonomi memerlukan percepatan industri digital untuk industri strategis nasional,” tutur Dave.

Ketua Umum Kosgoro ini juga menyinggung bahwa menurut data digital dunia, total populasi penduduk dunia sebanyak 7,883 miliar, di mana 5,22 miliar merupakan masyarakat kota. Dari jumlah tersebut 5,22 miliar adalah pengguna hand phone yang berarti 66,6% dari seluruh populasi penduduk dunia.

“Sebanyak 4,66 miliar adalah pengguna internet yang merupakan 59,5% dari populasi. Sedangkan yang aktif di media sosial sebanyak 4,22 miliar atau 53,6% dari populasi,” jelasnya.

Menurut Dave Laksono, angka lebih spektakuler lagi ada di Indonesia. Penduduk Indonesia yang berjumlah 274,9 juta, 57% di antaranya adalah masyarakat kota. Dari jumlah tersebut, pengguna koneksi hp sebanyak 345,3 juta atau 125,6% dari populasi.

“Ini angka yang cukup spektakuler, dari jumlah penduduk, pengguna koneksi hp sebanyak 345,3 juta atau 125,6% dari populasi. Pengguna internet sebanyak 202,6 juta yang berarti 73,7% dari jumlah penduduk Indonesia. Sedangkan yang aktif di media sosial sebanyak 170 juta, yang berarti 61,8% dari seluruh jumlah penduduk,” jelas Dave.

Karena itu menurut Dave, kehadiran Omnibuslaw sudah sangat dibutuhkan. Sebab Omnibuslaw memiliki manfaat yang begitu banyak bagi industri digital nasional.

“Manfaat itu seperti membuat peluang investasi pada industri telekomunikasi, operator kecil dan besar memiliki kesempatan yang sama, beradaptasi dengan tren digitalisasi di dunia, bagi industri telekomunikasi nasional akan mendapat revenue yang cukup baik, dan kerjasama dengan internasional akan semakin meningkat dan bermanfaat,” tandasnya. (*)

Bobby Rasyidin: Hadapi Ancaman, Perlu Kemandirian Industri Pertahanan

Direktur Utama PT Len Industri (Persero), Bobby Rasyidin, mengatakan bahwa untuk menghadapi ancaman pertahanan negara, perlu menumbuhkan kemandirian industri pertahanan. Hal itu dilakukan dengan memperhatikan potensi ancaman perkembangan lingkungan strategis dan dinamika hubungan antarnegara.

“Dengan memperhatikan potensi ancaman perkembangan lingkungan strategis dan dinamika hubungan antar negara, diperlukan peningkatan kemampuan pertahanan negara yang didukung oleh kemandirian industri pertahanan dalam produksi Alpalhankam yang berteknologi tinggi,” tutur Bobby Rasyidin dalam webinar yang diselenggarakan Forum Dialog Nusantara (FDN) bertemakan, “Dinamika dan Peranan Industri Strategis Nasional di Masa Pandemi Covid-19,” Rabu, 7 April 2021.

Menurut Bobby, peningkatan ranking kekuatan militer memberikan efek gentar atau deterrent effect. Di sisi lain, lanjut Bobby, adanya ancaman pertahanan tersebut memunculkan tren pasar terhadap pasar senjata. Yang pertama, ketegangan global dan permasalahan teritorial menyebabkan adanya permintaan incremental untuk produk pertahanan, contohnya ketegangan US-Iran, perselisihan Laut China Selatan.

“Kedua, tingginya ekspektasi pelanggan menyebabkan meroketnya persyaratan kualitas produk dan berimplikasi pada biaya, contohnya U.S. tactical aircraft baru (F-35) berbiaya 2.5x lebih tinggi dibanding 30 tahun lalu (F-16),” tuturnya.

Selanjutnya, inovasi komersil melampaui belanja DoD-driven RDT&E, contohnya 30 tahun terakhir pertumbuhan R&D industri domestik di US adalah 200%, sementara DoD hanya 60%.

Di sinilah menurut Bobby, “Perlombaan untuk memanfaatkan perkembangan teknologi memanas, dengan potensi inovasi Cina yang mungkin melampaui Amerika Serikat dan Rusia sejak 2010.”

Terkait dengan permasalahan industri pertahanan saat ini, Bobby memaparkan, tantangan permasalahan tersebut justru dapat meningkatkan kontribusi bagi pemenuhan alutsista TNI, sekaligus memiliki daya saing internasional guna menjadi bagian dari Global Supply Chain.

“Industri pertahanan saat ini menghadapi tantangan permasalahan untuk dapat meningkatkan kontribusi bagi pemenuhan alutsista TNI, sekaligus memiliki daya saing internasional guna menjadi bagian dari Global Supply Chain,” tuturnya.

Permasalahan pertama berkaitan dengan user atau pengguna sendiri, dalam hal ini TNI, Polri, Kementerian atau Lembaga yang relevan sebagai user.

“Terbatasnya permintaan jangka panjang yaitu 5 sampai 10 tahun. Konsistensi spesifikasi dan aturan pengadaan dan kontrak atau pembayaran. Pemahaman untuk penegakan regulasi pada pengguna,” jelasnya

Kemudian, berkaitan dengan Pemerintah sebagai regulator termasuk KKIP. Yaitu, adanya keterbatasan interaksi KKIP atau stakeholder dengan industri dan dukungan fiskal Pemerintah yang terbatas.

“Juga pada pihak BUMN yang membidangi Industri Pertahanan. Terbatasnya sinergi dan penyelarasan antar-BUMN, Anggaran R&D yang rendah & terbatas, dan tantangan dalam hal pembiayaan modal kerja dan investasi,” tandasnya.

Masalah ekosistem industri pertahanan juga menjadi perhatian, dimana pengembangan dan manajemen ekosistem industri pertahanan tidak terintegrasi, adanya keterbatasan permintaan Pemerintah, terbatasnya dukungan dalam pembangunan kapabilitas. Dengan demikian, perlunya tambahan insentif untuk pembelian bahan baku/komponen dalam negeri.

“Yang sangat penting, mitra asing sulit bernegosiasi karena volume pembelian yang terbatas dan rendahnya tipe offset untuk produksi bersama,” pungkasnya. (*)

Leave a Reply

Close Menu