PATRIOT BOND  DI PENGHUJUNG 1 TAHUN PEMERINTAHAN PRABOWO

PATRIOT BOND  DI PENGHUJUNG 1 TAHUN PEMERINTAHAN PRABOWO

Penulis: Justin Djogo M.A, MBA (Direktur Kajian Luar Negeri Balitbang DPP Partai Golkar).

Lima puluh triliun rupiah itu diumumkan dengan tenang, laiknya  angka untuk menenangkan zaman yang letih, oleh kepercayaan yang kerap dikhianati. Patriot Bond, kata Danantara, adalah jalan baru menuju kemandirian finansial: uang dihimpun dari dalam negeri, untuk membangun tenaga hijau, sebuah narasi modern tentang pembangunan berkelanjutan. Patriot Bond ingin membuktikan bahwa kemajuan tak selalu datang dari pinjaman luar. Rosan Roeslani sang CEO Danantara, ingin meyakinkan bahwa masa depan bisa dirakit dari keyakinan bersama.

Memangkas Skeptis

Dan barangkali memang di situlah artinya: bahwa di antara kecemasan ekonomi dan politik, masih ada usaha untuk menanam kepercayaan di tanah sendiri. Patriot Bond mungkin belum sempurna, tapi ia menandai satu hal penting: bahwa bangsa ini, sesekali, berani mencoba mempercayai dirinya sendiri.

Meski skeptisisme, tetap berputar di udara. Setiap kali negara menjual cita-cita dalam bentuk angka, publik belajar untuk berhati-hati—sebab yang tampak sebagai gotong royong bisa saja hanya rotasi nama dalam lingkar keuntungan yang sama. Kepercayaan, yang seharusnya menjadi fondasi, justru diuji oleh sejarah panjang proyek-proyek megah yang tak seluruhnya jernih.

Patriot Bond dijual dengan kupon hanya 2 persen, jauh di bawah imbal hasil obligasi pemerintah—sekitar 5–6 persen.  Investor besar yang masuk membeli bond ini bukan karena prospek bunga, melainkan untuk “tampil ikut membangun bangsa.” Dan ketika instrumen dijual secara private placement (kepada investor terpilih), ia semakin mengundang kecurigaan bahwa ini bukan pasar terbuka melainkan pasar kepentingan.

Masalah pertama risiko crowding out. Hal yang dikuatirkan oleh beberapa ekonom, saat investor korporat besar membeli obligasi Patriot: mereka bukan memindahkan kas menganggur, melainkan  memindahkan dana deposito ke Patriot Bond. Menurut Bhima Yudhistira Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies, hal ini bisa  berpengaruh juga terhadap penyaluran kredit perbankan. “Jika itu yang terjadi maka tekanan likuiditas ke bank akibat crowding out Danantara bakal ganggu penyaluran kredit perbankan. Transmisi penurunan suku bunga acuan BI ke bunga kredit bank bisa tertunda,” kata Bhima.https://tirto.id/saat-danantara-berutang-ke-para-taipan-hgDA.

Masalah kedua: transparansi. Dalam dunia keuangan global, kerahasiaan sering dianggap kebajikan. Private placement lazim dilakukan tanpa menyebut nama pembeli; itu bagian dari strategi, bukan intrik. Tapi Patriot Bond berdiri di ruang yang berbeda—ia menjanjikan semangat kebangsaan, bukan sekadar imbal hasil. Maka ketika identitas para pembelinya dirahasiakan, muncul keganjilan yang tak bisa dihapus oleh penjelasan teknis.

Bukankah nasionalisme ekonomi tak hidup dari laporan keuangan, melainkan dari rasa percaya? Seperti cahaya, kepercayaan hanya bisa tumbuh di tempat yang terbuka.

Ketiga, adanya konflik kepentingan yang dapat mengurangi trust. Jadi begini, tujuan patriot bond kan sebagian dananya dirancang untuk membiayai proyek energi hijau, termasuk waste to energy—teknologi yang mengubah sampah menjadi listrik. Nah… pakar Ekonomi Sekaligus Owner PT Bejana Investidata Globalindo, Yanuar Rizky dalam siniar  wawancara dengan inilah.com, mengatakan bahwa salah satu perusahaan pengusung teknologi yang mengubah sampah menjadi listrik, adalah Toba Bara Sejahtera (TBS), yang punya sejarah panjang dengan  Pandu Patria  Sjahrir sang  Chief Investment Officer (CIO) Danantara.

Meski mungkin tak ada hubungannya, tapi “ketersambungan program” antara Patriot Bond dengan TBS, sempat menimbulkan gumam di pasar. TBS yang awalnya perusahaan tambang batu bara, tapi sejak beberapa tahun terakhir mulai menggeser portofolionya secara bertahap ke arah energi hijau. Posisi Pandu Sjahrir jelas bukan pelanggaran hukum. Toh Pandu  Sjahrir sudah mengundurkan diri dari jabatan Wakil Direktur Utama PT TBS Energi Utama Tbk (TOBA) sejak 24 Februari 2025, setelah ditunjuk menjadi CIO Danantara.

Struktur Danantara dibangun dengan pemisahan jelas antara kepentingan pribadi dan kelembagaan. Pandu berperan sebagai perancang strategi investasi, bukan pemegang kendali proyek. Hingga kini, memang belum ada bukti maupun indikasi pelanggaran etika. Namun di negeri dengan  garis batas publik dan privat yang begitu tipis, irisan semacam itu bisa membuat dahi pengamat mengernyit.

Tapi bukankah John Maynard Keynes sendiri yang bilang, “Markets can remain irrational longer than you can remain solvent.” Bahwa pasar obligasi pada dasarnya berdiri di atas sesuatu yang rapuh: keyakinan bahwa orang lain akan tetap percaya?

Siapa Diuntungkan bila Patriot Bond Gagal?

Patriot Bond adalah momen krusial. Jika dikelola dengan jujur, ia bisa jadi pilar baru pembiayaan pembangunan Indonesia. Jika dibiarkan buram, ia bisa menjadi artefak kehampaan ekonomi—sebuah retorika patriotik yang bernapas di ruang elite, bukan di jalanan rakyat.

Bayang-bayang kegagalan bisa terjadi bila beberapa proyek gagal berjalan. Investor yang membeli Patriot Bond dalam keadaan terdesak, mungkin tidak bisa menjual kembali,karena likuiditasnya rendah. Dan bila proyek tidak menghasilkan arus kas cukup untuk bayar bunga atau pokok, maka tekanan keuangan akan jatuh ke pengguna pajak, ke negara, atau ke lembaga keuangan yang menyalurkan kredit. Dalam sejarah global, instrumen keuangan yang menjanjikan “kontribusi patriotik” sering berubah menjadi beban publik ketika performa ekonomi mengecewakan.

Jika Patriot Bond gagal, yang berpotensi diuntungkan adalah pihak-pihak “yang menunggu di luar pagar”. Bisa investor asing, dan spekulan global, serta kreditur yang tahu betul bahwa setiap kegagalan dalam negeri memperbesar ruang mereka masuk dengan harga murah.

Beberapa analisis menyebut bahwa bila Indonesia gagal membiayai proyek energi bersih sendiri, maka perusahaan dari Jepang, China, atau Singapura bisa masuk mengambil alih proyek-proyek yang mangkrak, karena mereka punya modal dan teknologi. Lembaga keuangan global dan bank-bank internasional juga sudah terlibat dalam proyek energi di Indonesia; dominasi mereka bisa semakin kuat jika kemandirian pembiayaan nasional terbukti rapuh. Danantara, dengan semangat nasionalismenya, tampak seperti proyek yang lahir dari idealisme, tapi ia juga menjadi medan uji: apakah nasionalisme bisa hidup di tengah pasar yang sudah dikuasai kapital lintas batas?

Apa yang harus diperbaiki agar ambisi Patriot Bond tak berubah menjadi kisah kegagalan? Transparansi harus dijadikan mantra: publikasi siapa pembeli, audit independen terbuka, laporan proyek dan penggunaan dana, batasan agunan, pembatasan likuiditas. Danantara harus membuka diri dalam hal fondasi investasi modern: surat obligasi publik, dokumen prospektus, akuntabilitas. Apalagi ketika institusi negara “memanggil uang rakyat”, mereka lebih “berhutang” untuk memberikan kejelasan, bukan simetri simbol.[@]

Leave a Reply

Close Menu