Menakar Arah: Catatan Kritis Dr. Iswadi Menjelang Satu Tahun Pemerintahan Prabowo

Menakar Arah: Catatan Kritis Dr. Iswadi Menjelang Satu Tahun Pemerintahan Prabowo

Jakarta : Menjelang satu tahun pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, ruang publik mulai dipenuhi ekspektasi sekaligus kecemasan. Bagi sebagian pihak, ini adalah momen harapan baru yang telah lama dinanti. Namun, bagi yang lain, ini juga menjadi ruang waspada terhadap potensi penyimpangan mandat rakyat. Dalam konteks inilah, Dr. Iswadi, seorang akademisi sekaligus pengamat politik dan kebijakan publik, menyampaikan catatan kritisnya bukan untuk mencela, melainkan sebagai refleksi konstruktif atas perjalanan pemerintahan yang tengah berjalan.

Dr. Iswadi memulai catatannya dengan menggarisbawahi pentingnya transparansi visi dalam tahun tahun awal pemerintahan.Prabowo datang dengan mandat besar, didukung koalisi politik yang kuat dan legitimasi elektoral yang tidak kecil. Namun kekuasaan tanpa arah yang jelas adalah potensi bahaya,” ujarnya. Menurutnya, hingga saat ini, masyarakat masih menanti konsistensi visi yang dijanjikan dalam kampanye, terutama terkait kedaulatan pangan, reformasi pertahanan, dan pemerataan pembangunan.

Isu pertama yang disorot Dr. Iswadi adalah bidang pertahanan. Sebagai mantan Menhan, Prabowo membawa pengalaman strategis yang diharapkan bisa memperkuat sistem pertahanan nasional. Namun, Iswadi mengingatkan bahwa membangun kekuatan militer bukan sekadar belanja alutsista. Yang lebih penting adalah memperkuat diplomasi pertahanan dan merancang postur militer yang adaptif terhadap dinamika geopolitik Asia Pasifik, jelasnya. Ia menilai, saat ini pemerintah masih terjebak dalam pendekatan simbolik: pembelian senjata dan parade militer, tanpa peta jalan jangka panjang yang terukur.

Kritik kedua diarahkan pada sektor pangan dan energi. Dua sektor ini menjadi janji kampanye utama yang kini harus diuji realisasinya. Program makan siang gratis, misalnya, menjadi perdebatan hangat di tengah keterbatasan fiskal negara. Dr. Iswadi tidak menolak program populis, namun mengingatkan bahwa populisme yang tak didukung perencanaan anggaran yang cermat bisa menjadi beban jangka panjang bagi keuangan negara. Ia menyoroti bahwa hingga kini, masih minim informasi mengenai skema pendanaan program tersebut yang melibatkan APBN dalam jumlah besar.

Lebih lanjut, Dr. Iswadi mengulas soal penataan birokrasi. Ia melihat bahwa reformasi birokrasi belum menunjukkan arah yang tegas. “Presiden tampak lebih banyak menggunakan pendekatan politik dalam memilih pejabat, ketimbang pertimbangan meritokrasi, ujarnya. Ia mencontohkan penunjukan beberapa pejabat tinggi yang kontroversial dan dinilai tidak sesuai dengan rekam jejak profesionalisme. Dalam konteks ini, Iswadi mengingatkan agar Presiden Prabowo tidak tergelincir dalam jebakan patronase politik yang merusak sistem birokrasi.

Isu keempat adalah soal kebebasan sipil. Dr. Iswadi menaruh perhatian pada gejala menurunnya kualitas demokrasi, termasuk tekanan terhadap media, kriminalisasi aktivis, dan pengerdilan oposisi. Menurutnya, kekuasaan yang kuat harus dikontrol oleh sistem yang sehat. “Tanpa oposisi yang kritis dan media yang bebas, pemerintah akan kehilangan cermin koreksi. Kita tidak boleh kembali ke era di mana kritik dianggap ancaman negara, tegasnya.

Meski penuh kritik, Dr. Iswadi tetap memberikan apresiasi terhadap beberapa capaian awal, seperti komitmen melanjutkan pembangunan infrastruktur dan upaya diplomasi aktif dalam menjaga stabilitas kawasan. Namun ia mengingatkan, pembangunan fisik harus diimbangi pembangunan manusia. “Kita tak bisa bicara IKN megah, sementara mutu pendidikan stagnan dan tenaga kesehatan masih kekurangan dukungan,” katanya.

Catatan terakhir yang disampaikan Dr. Iswadi adalah pentingnya partisipasi publik. Ia mendorong agar pemerintahan Prabowo membuka kanal partisipasi warga yang lebih luas, bukan hanya sekadar seremoni serap aspirasi. Rakyat bukan penonton. Mereka adalah pemilik kedaulatan, pungkasnya.

Catatan kritis ini bukanlah bentuk pesimisme, melainkan harapan agar pemerintah tetap berada di rel yang benar. Kritik adalah vitamin demokrasi, dan pemerintah yang kuat adalah pemerintah yang mampu mendengar serta menyesuaikan diri dengan suara rakyat.

Menjelang satu tahun masa pemerintahan, waktu masih tersedia untuk memperbaiki arah. Namun komitmen harus segera ditunjukkan. Sejarah tidak memberi banyak ruang bagi pemimpin yang gagal membuktikan diri di tahun tahun awal kekuasaannya. Dr. Iswadi, dengan cara pandangnya yang jernih, mengajak kita semua untuk terus menakar arah demi Indonesia yang benar-benar berdaulat, adil, dan bermartabat.

Leave a Reply

Close Menu