Penulis: Justin Djogo M.A, MBA (Direktur Kajian Luar Negeri Balitbang DPP Partai Golkar).
Ledakan yang mengguncang Doha pada malam 9 September 2025 menjadi tamparan keras bagi keyakinan Qatar bahwa hubungannya dengan Amerika Serikat adalah perlindungan abadi.
Serangan Israel ini menandai runtuhnya kepercayaan negara-negara Teluk terhadap AS. Bagi Qatar yang selama ini menampung Hamas atas doronga AS sebagai bagian dari strategi diplomasi Timur Tengah, mungkinkah kepercayaannya pulih dengan cepat? Mengingat Perdana Menteri Qatar Sheikh Mohammed bin Abdulrahman al-Thani telah menerima undangan makan malam dengan Presiden AS Donald Trump di New York, Jumat (12/9/2025)?
Sambil Menanti Hasil KTT Arab Islam di Dona 2025
Qatar merasa “kecolongan” dua kali: oleh Israel yang menembus kedaulatannya dengan dalih memburu Hamas, dan oleh AS yang gagal menahan sekutunya. Kini Qatar mengadakan KTT Luar Biasa Arab-Islam 2025 di Doha, pada 14-16 September 2025 ini.
KTT darurat Arab-Islam di Doha akan berfokus pada penanganan serangan Israel terhadap Qatar sebagai pelanggaran kedaulatan Gulf Cooperation Council (GCC): enam negara Teluk yang telah membentuk kerja sama politik, ekonomi, dan keamanan sejak 1981. Mereka adalah Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Qatar, Kuwait, Oman, dan Bahrain
Keenam negara GCC telah menyuarakan kekhawatiran yang sama mengenai keandalan AS sebagai mitra keamanan jangka panjang. Meski telah ada kerja sama selama beberapa dekade dan perjanjian pertahanan substansial senilai miliaran dolar, kegagalan AS untuk mendeteksi atau mencegah serangan Israel di wilayah Qatar telah menimbulkan pertanyaan serius tentang perannya dalam menjaga keamanan Teluk.
Para pemimpin akan mengkaji: Pertama, cara pasukan Israel berhasil melewati pertahanan regional. Apakah kemungkinan karena penonaktifan radar AS? Kedua, penjajakan kemitraan pertahanan alternatif dengan Tiongkok dan Turki. Konsekuensinya: mempertimbangkan penarikan sebagian pasukan AS untuk penjamin keamanan dan mitra keamanan lainnya, dan meninjau potensi pembatalan kesepakatan senjata Amerika senilai miliaran dolar karena masalah keamanan dan keandalan.
Sebab, selama bertahun-tahun, negara-negara Teluk ini telah mempertaruhkan semua pertahanan mereka pada satu hal: Payung keamanan yang dipasok AS, dibayar dengan puluhan miliar petrodolar, menjadi pengguna persenjataan AS, dan AS dipersilakan menempatkan beberapa fasilitas militer terbesarnya di Timur Tengah.
Keyakinan negara Teluk bahwa kehadiran militer AS merupakan jaminan perlindungan virtual jika musuh datang berkunjung, nihil semua ketika Israel menyerang Qatar. Bahkan sentimen yang berkembang saat ini: AS mempertaruhkan kemitraan regional yang telah lama ada dan bernilai tinggi (dengan negara-negara Teluk), dengan potensi mengorbankan kepentingan keamanan Teluk yang lebih luas. Hal itu demi memprioritaskan keselarasan AS dengan Israel: aktor yang jauh lebih kecil di kawasan tersebut.
Dilema Qatar sebagai Mediator
Sejak 2011, AS telah menggunakan Qatar sebagai mediator aman: panggung bagi kelompok keras macam Taliban dan Hamas. Ini keuntungan bagi AS, karena lebih mudah mengendalikan mereka di Doha daripada di Damaskus atau Teheran.
Namun logika ini hancur ketika roket Israel menghantam jantung Doha. Kredibilitas AS sebagai penyeimbang di Timur Tengah terkikis, reputasi Qatar sebagai pusat diplomasi dan mediator terpercaya menjadi ternoda. Sementara peluang perundingan damai makin sempit.
Qatar berada dalam dilema strategis: jika melepas Hamas, modal diplomasi hilang. Tapi jika mempertahankan Hamas, ancaman serangan berulang tetap ada. Menurut Brookings Doha Center, Qatar kemungkinan akan memperkuat hubungan dengan Turki dan Iran. Atau, menuntut jaminan keamanan lebih konkret dari Amerika.
Qatar menghadapi dilema diplomatik, antara tetap menjadi tuan rumah Hamas atau menanggung risiko serangan ulang.
Bagaimana Masa Depan Israel di Kawasan?
Serangan Israel ke Qatar ini berbeda dari operasi Israel sebelumnya di Gaza, Teheran, atau Yaman, yang dunia menyebutnya: operasi militer. Tetapi menargetkan Doha yang selama ini menjadi pusat perundingan internasional? Dunia menafsirkannya sebagai pesan politik Israel: bahwa tidak ada mediator Arab yang aman.
Analisis geopolitik menunjukkan serangan ini bisa menandai babak baru Israel di kawasan. Jika tujuan Israel tidak terbatas pada Qatar, kemungkinan konflik akan melebar ke Turki, Lebanon, atau negara-negara Teluk lainnya. Pertama, serangan lintas-batas ini berpotensi memicu krisis besar: ketegangan Ankara–Tel Aviv. Kedua, potensi meletusnya konflik terbuka di Lebanon.
Ketiga, tekanan terhadap negara Teluk untuk memilih: melindungi Palestina atau menuruti logika keamanan Israel? Keempat, Hamas bisa terdorong memperkuat aliansi dengan Iran, mengubah konflik menjadi perang proksi regional, dan membuka risiko perang Arab–Israel jilid baru.
Menakar Dampak Geopolitik di Indo Pasifik
Dampak global dan regional serangan ini juga signifikan, lebih dari pasar energi langsung terdampak. Kenaikan harga minyak sudah di depan mata, akibat ketidakpastian pasokan dari Teluk. Ketergantungan ekonomi Asia pada Teluk membuat gangguan geopolitik di Timur Tengah memengaruhi inflasi, neraca perdagangan, dan rantai pasok. Artinya, jika konflik berkembang menjadi perang regional, dampaknya akan luas: gangguan ekonomi global, inflasi, gangguan rantai pasok, arus pengungsi, dan tekanan geopolitik simultan bagi Indo-Pasifik.
Namun yang harus menjadi perhatian negara-negara Asia dan Indo Pasifik bukan hanya minyak. Melainkan: pergeseran militer AS yang sudah terlihat, dengan pengalihan kapal induk, destroyer, dan aset ke kawasan Timur Tengah dan Indo-Pasifik, atas nama “mengamankan jalur energi”.
Jika AS memperluas pangkalan di Indo-Pasifik akibat pergeseran Teluk, arsitektur pertahanan kawasan akan makin tegang. Dalam konteks: AUKUS (pakta keamanan trilateral Australia-Inggris-AS di Indo Pasifik), QUAD (forum strategis empat negara: AS, Jepang, India, dan Australia, untuk menghadapi Beijing),serta AS meningkatkan kemitraan dengan Jepang atau Korea Selatan. Kondisi ini bisa mempercepat modernisasi militer Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Artinya, Indonesia perlu menyiapkan anggaran, teknologi, dan diplomasi maritim, agar tak terjadi “salah perhitungan” (alias konflik) di Natuna, Selat Malaka, atau wilayah teritorial lain.
Dari sisi ekonomi, langkah AS dan sekutunya menjaga jalur pasokan energi berpotensi menjadikan Indonesia koridor penting bagi perdagangan dan investasi pelabuhan, meski sekaligus membuka risiko persaingan geopolitik yang membuat Jakarta harus cermat agar tidak terjebak dalam ketergantungan baru.
Mungkinkah keberadaan aliansi FPDA, AUKUS, dan QUAD memaksa Jakarta menghadapi dilema strategis antara netralitas dan keterlibatan dalam upaya menjaga stabilitas maritim? Atau, mungkinkah Beijing turut merespons dengan meningkatkan langkah di Laut Cina Selatan dan Samudra Hindia?
Saran untuk Indonesia
Kesiapan Indonesia meliputi deteksi dini ekonomi dan maritim, diplomasi aktif ke semua pihak, dan pembangunan paket kesiapan domestik berupa cadangan energi, penyangga fiskal, dan kebijakan komunikasi publik yang menenangkan.
Terkait energi, Indonesia sebagai importir energi, akan merasakan tekanan langsung: subsidi energi dan bantuan sosial harus meningkat, cadangan devisa digunakan untuk menstabilkan pasar, Ada dua hal yang perlu segera dilakukan. Pertama, Indonesia memiliki Strategic Petroleum Reserve (SPR) sebagai cadangan minyak untuk menghadapi krisis pasokan, yang bisa dilepas untuk menstabilkan pasar dan ekonomi meski kapasitasnya terbatas.
Kedua, pengembangan energi domestik—gas, batu bara, panas bumi, dan energi terbarukan—mengurangi ketergantungan impor, menjamin pasokan listrik dan industri, serta memperkuat kemandirian energi. Kombinasi SPR dan energi domestik membentuk mekanisme ganda: jaring pengaman jangka pendek dan pondasi kemandirian jangka panjang, memungkinkan Indonesia menghadapi krisis energi global dengan fleksibilitas, menjaga stabilitas ekonomi, dan mempertahankan posisi strategis regional.
Bukan tak mungkin bila Indonesia akn menghadapi godaan strategis dari Timur dan Barat sekaligus, termasuk dalam modernisasi militer dan akses teknologi. Maka Indonesia harus menyiapkan lebih dari kebijakan fiskal, cadangan energi dan pangan, serta alokasi anggaran pertahanan perlu diatur ulang.
Mekanisme diplomasi kolektif di ASEAN juga dapat mengurangi risiko. Sebab dampak ini kemungkinan muncul bertahap: pertama, shock pasar dan respons militer; kedua, reflasi geopolitik dan pengalihan aliansi; ketiga, pembentukan struktur keamanan dan ekonomi baru.