Sejak kuartal terakhir 2023, energi kita tercurah hampir sepenuhnya pada rentetan aktivitas terkait pesta demokrasi, pilpres dan pileg 14 Februari 2024. Tinggal beberapa minggu lagi, momen bersejarah ini akan menjadi kenyataan.
Paslon presiden-wapres mana yang akan memenangkan hati rakyat? Satu atau dua putaran?
Kalkulasi lembaga survei terbelah dua. Satunya memprediksikan pilpres hanya satu putaran. Lainnya mengkalkulasikan akan terjadi dua putaran.
Memang, hasil survei adalah pendekatan ilmiah yang selama ini terbukti benar. Namun, ada juga yang meleset.
Politik Tak Boleh Netral
Lalu, apa untungnya jika pilpres hanya dilangsungkan satu putaran. Tentu saja kita akan hemat energi untuk segera membenahi sendi-sendi persatuan di akar rumput yang pasti sedikit retak, ketika mereka harus memilih dari 3 paslon presiden dan wapresnya.
Bangsa sebesar Indonesia memang sangat rentan dengan godaan perpecahan dan fanatisme eksklusif, yang membias ke hal-hal lain yang dapat mencederai pesta demokrasi yang mestinya sudah berakhir setelah kita punya presiden dan wakil presiden terpilih.
Sedangkan jika harus dua putaran, maka kita kembali disuguhkan permainan cantik para elit paslon yang kalah dalam putaran pertama. Muncul akrobat politik yang tak masuk akal, namun lumrah, dalam kontestasi seperti pilpres ini. Distorsi di putaran pertama bisa menjadi kompromi di putaran kedua kelak.
Mari kita berandai-andai saja akan terjadi putaran kedua. Karena itu, pada kesempatan ini kita mengajak semua unsur dan perwakilan dari Paslon Anies-Cak Imin, Paslon Prabowo-Gibran, dan Paslon Ganjar-Mahfud untuk mengosongkan naluri keharusan menang, tetapi mengisi perlahan dengan tetesan eksistensi demokrasi yang siap kalah dan menang.
Agar publik tidak hanya menduga-duga isi lubuk hati dan dapur strategi merangkai distorsi menjadi kompromi dalam pesta demokrasi 14 Februari 2024, maka perlu menyuarakan sikap kritis dari akademisi dan pemerhati politik agar keseimbangan narasi demokrasi sebagai wahana politik dari, oleh, dan untuk rakyat serta realisasinya dapat terwujud.
Bagi saya, politik ada pilihan. Politik tidak boleh netral, karena bersikap netral tanpa memberi pilihan sama saja memelihara status quo. Walaupun bisa memilih bersikap netral, namun sikap itu tidak memberikan dampak baru bagi demokrasi.
Coba bayangkan jika semua bersikap netral, apa akan ada perubahan? Jelas tidak.
Namun, bagaimana dengan jurus-jurus politik plin plan, alias mau ke sana ke mari asalkan selamat dan tetap eksis dalam panggung kekuasaan? Itu pun boleh saja, karena politik memang sangat dinamis. Bahkan sampai melanggar etika politik, patut disayangkan.
Akhirnya, entah itu satu atau pun dua putaran pilpres nanti, mari kita merajut kembali distorsi menjadi kompromi demi tujuan yang lebih transendental, bagi kemuliaan manusia Indonesia sebagai citra Sang Pencipta.