Politisasi Birokrasi Di Indonesia

Haris Kusworo, M.Si.

Di dalam Negara yang menerapkan sistem demokrasi, kehadiran partai politik dalam birokrasi pemerintah tak bisa dihindari. Menurut teori liberal, birokrasi pemerintah menjalankan kebijakan-kebijakan pemerintah yang mempunyai akses langsung dengan rakyat melalui mandat yang diperoleh dalam pemilihan. Dengan demikian, birokrasi pemerintah tidak hanya didominasi oleh pejabat-pejabat birokrasi saja yang meniti karir di dalamnya, melainkan ada pula bagian-bagian lain yang ditempati oleh pejabat-pejabat politik. Demikian pula sebaliknya, di dalam birokrasi pemerintah bukan hanya dimiliki oleh pimpinan politik dari partai politik saja melainkan ada juga pimpinan birokrasi karir yang profesional. 

Menurut Weber, birokrasi diartikan sebagai fungsi sebuah biro. Suatu biro merupakan jawaban yang rasional terhadap serangkaian tujuan yang telah ditetapkan. Birokrasi merupakan sarana untuk merealisasikan tujuan-tujuan tersebut. Seorang pejabat birokrat tidak seyogyanya menetapkan  tujuan-tujuan yang ingin dicapai tersebut. Penetapan tujuan merupakan fungsi politik  dan menjadi wewenang dari pejabat politik yang menjadi masternya. 

Model birokrasi Weberian yang selama ini dipahami merupakan sebuah mesin yang disiapkan untuk menjalankan dan mewujudkan tujuan-tujuan tersebut. Dengan demikian, setiap pekerja atau pejabat dalam birokrasi pemerintah merupakan pemicu dan penggerak dari sebuah mesin yang tidak mempunyai kepentingan pribadi. Dalam kaitan ini, maka setiap pejabat pemerintah tidak mempunyai tanggung jawab publik kecuali pada bidang tugas dan tanggung jawab yang dibebankan kepadanya. Sepanjang tugas dan tanggung jawab sebagai mesin dijalankan sesuai dengan proses dan prosedur  yang telah ditetapkan, maka akuntabilitas pejabat birokrasi pemerintah telah diwujudkan. Pemikiran seperti ini menjadikan birokrasi pemerintah bertindak sebagai kekuatan yang netral dari pengaruh kepentingan kelas atau kelompok tertentu. 

Sedangkan menurut Karl Marx, birokrasi adalah Negara atau pemerintah itu sendiri. Birokrasi merupakan instrumen yang dipergunakan oleh kelas yang dominan untuk melaksanakan kekuasaan dominasinya atas kelas-kelas sosial lainnya. Dengan kata lain, birokrasi memihak kepada kelas partikular yang mendominasi tersebut. Berdasarkan pemikiran ini, maka dapat dipahami bahwa pada tingkatan tertentu birokrasi mempunyai hubungan yang sangat erat dengan kelas yang dominan dan pada pemerintah. Eksistensi birokrasi sangat tergantung pada kelas dominan dan pada pemerintah. Kekuatan politik yang datang dan pergi sebagai kelompok yang menguasai pemerintahan dan birokrasi sebagai pelaksana kebijakan pemerintah merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan akan tetapi dapat dibedakan. Konsep Marx menunjukkan bahwa keberadaan birokrasi pemerintah memihak pada kekuatan politik yang memerintah.

Birokrasi pemerintah tidak bisa dilepaskan dari proses dan kegiatan politik. Pada setiap gugusan masyarakat yang membentuk suatu tata kepemerintahan tidak bisa dilepaskan dari aspek politik ini. Politik sebagaimana kita ketahui bersama, terdiri dari orang-orang yang berperilaku dan bertindak politik yang diorganisasikan secara politik oleh kelompok-kelompok kepentingan dan berusaha mencoba mempengaruhi pemerintah untuk mengambil dan melaksanakan suatu kebijakan dan tindakan yang bisa mengangkat kepentingannya dan mengesampingkan kepentingan kelompok lainnya. 

Kelompok masyarakat mempunyai kepentingan yang diperjuangkan agar pemerintah terpengaruh, dan birokrasi pemerintah langsung ataupun tidak langsung akan selalu berhubungan dengan kelompok-kelompok kepentingan dalam masyarakat. Karena itulah, partai-partai politik memandang strategis fungsi birokrasi dan dapat dijadikan sarana untuk mewujudkan kepentingan-kepentingan politiknya. 

Di Indonesia, partai politik ramai-ramai berusaha menancapkan pengaruh ke dalam birokrasi dengan menempatkan kader-kadernya sebagai menteri dan kepala daerah yang notabene merupakan pimpinan pucuk sebuah birokrasi di kemterian dan daerah. Hal ini berlangsung sejak era Orde Lama hingga era reformasi. Di era Orde Lama, tiga kekuatan partai politik yang dibungkus dalam Nasakom berusaha membagi kaplingan pengaruhnya di beberapa departemen pemerintah. 

Tiga kekuatan partai politik Nasakom tersebut berambisi menggunakan jabatan birokrasi dalam lembaga pemerintah sebagai building block untuk kepentingan membangun organisasi partainya. Pada masa ini, lembaga pemerintah sudah mulai memihak kepada kekuatan politik yang ada. Atau lebih tepatnya lembaga pemerintah kita sudah terperangkap ke dalam jaring yang dipasang oleh kekuatan politik Nasakom. Hal ini terbukti ketika terjadi tragedi nasional pemberontakan PKI 30 September 1965. Dari data yang diungkap, ternyata kekuatan partai politik PKI telah menyusup ke hampir semua departemen pemerintah. Sementara itu, kekuatan agama dan nasionalis mendominasi kavling kementerian masing-masing.

Di era Orde Baru, kelembagaan birokrasi pemerintah dipimpin dan dikuasai oleh Golkar. Birokrasi pemerintah terang-terangan memihak ke Golkar, dan ini berlangsung cukup lama selama 32 tahun. Dengan dikuasainya birokrasi oleh Golkar, sebagaimana yang kita ketahui setiap pemilu di era Orde Baru selalu dimenangkan oleh Golkar. 

Di era reformasi, Presiden terpilih bukan berasal dari partai mayoritas pemenang pemilu, hal ini menyebabkan Presiden membentuk pemerintahan koalisi. Jabatan Menteri dibagikan kepada parpol koalisi sebagai sharing of power, akibatnya Menteri yang berasal dari parpol menancapkan pengaruh ke dalam kementerian yang pimpinnya. Kondisi ini menyebabkan birokrasi tidak bisa benar-benar netral dari kepentingan politik. 

Di level daerah, politisasi birokrasi justru terlihat lebih memprihatinkan terutama bila memasuki kontestasi pemilihan kepala daerah (Pilkada). Temuan Sudiman dalam penelitian disertasinya yang berjudul “Netralitas Birokrasi Dalam Politik: Studi Kasus Tentang Netralitas PNS Dalam Pemilihan Kepala Daerah Sulawesi Selatan Tahun 2007 dan Banten Tahun 2006” menunjukkan bahwa : pertama, implementasi netralitas aparatur birokrasi yaitu Aparatur Sipil Negara (ASN) pada kedua kasus Pilkada Sulawesi Selatan dan Banten, tidak terbukti. ASN sebagai aparatur birokrasi yang seharusnya berlaku netral dalam Pemilihan Gubernur (Pilgub), menjadi partisan dengan keterlibatannya untuk memberikan dukungan kepada gubernur atau wakil gubernur (incumbent) yang kembali maju dalam Pilgub. Pada kasus Pilgub Sulsel, pelanggaran netralitas ASN terjadi secara massif dan hampir merata di semua jenjang struktural. Hal ini karena ada dua incumbent yang sama-sama maju sebagai peserta Pilgub yaitu Gubernur Amin Syam yang berpasangan dengan Mansyur Ramli (ASMARA), berhadapan dengan wakil gubernur Syahrul Yasin Limpo yang maju berpasangan dengan Agus Arifin Nu’mang (SAYANG). Sedangkan dalam Pilgub Banten, polarisasi dan fragmentasi pelanggaran netralitas PNS tidak sehebat di Sulsel. Alasannya karena hanya ada satu incumbent yang maju sebagai peserta Pilgub yaitu Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah. Sedangkan pesaingnya tidak ada yang berasal dari incumbent.

Kedua, bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya pelanggaran netralitas PNS, pada kasus Pilgub Sulsel adalah: (a) isu primordialisme (pertentangan etnis suku Bugis dan suku Makassar). Hal ini disebabkan karena Syahrul Yasin Limpo dianggap mewakili etnis Makassar, sedangkan Amin Syam mewakili etnis Bugis. (b) faktor patron client, dimana kedua incumbent sejak jauh hari sebelum pencalonan telah membangun relasi patron client dengan jajaran struktural birokrasi dibawahnya, mulai dari kepala dinas, kabag, para bupati dan lainnya. Sedangkan pada kasus Pilgub Banten, pelanggaran netralitas selain faktor budaya, juga karena adanya kekuatan kelompok jawara yang memiliki kekuasaan luar biasa dalam mempengaruhi dan melakukan tekanan terhadap kalangan ASN untuk mendukung incumbent Ratu Atut Chosiyah.

Ketiga, mengenai bentuk terjadinya pelanggaran netralitas ASN pada kasus Pilgub di Sulawesi Selatan dan Banten, polanya hampir sama yaitu dengan penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan, melalui penggunaan fasilitas negara seperti gedung, kendaraan, anggaran, program bantuan dan politik pencitraan yang dilakukan oleh incumbent dengan menggunakan anggaran negara (APBD) untuk kemenangan dirinya. Selain itu, pelanggaran terhadap netralitas ASN juga dilakukan melalui keterlibatan aktif ASN dalam kegiatan kampanye, tim sukses, memobilisasi dukungan dengan mempolitisasi kegiatan program-program populis untuk rakyat (bantuan masyarakat).

Fakta-fakta sebagaimana diuraikan telah membuktikan bahwa  birokrasi disamping menjadi mesin politik yang efektif juga merupakan kekuatan politik yang diperhitungkan. Partai politik menyadari bahwa bangunan birokrasi pemerintah menjulur dari pusat pemerintahan sampai struktur yang paling bawah mendekati rakyat. Bangunan seperti itu merupakan sarana yang efektif untuk mempengaruhi rakyat agar memilih partainya atau calon yang diusungnya. Fasilitas yang ada di pemerintahan sangat berharga untuk tidak disia-siakan guna kemanfaatan partai dan calon yang diusungnya. Itulah sebabnya, rangkap jabatan partai dan jabatan politik di birokrasi pemerintah sulit diberantas dan masih dipertahankan dengan segala cara. Bahkan Presiden Megawati dan SBY pun adalah Ketua Umum Partai Politik yang mengusungnya dalam pemilihan presiden. Sulit dibedakan kapan ia bertindak sebagai Ketua Umum parpol maupun sebagai seorang Presiden. 

Jabatan keduanya menyatu dalam dirinya dan fasilitas kepresidenan selalu mengiringi ke mana pun ia melangkah. Dalih yang digunakan adalah, ketika pemerintahan Orba orang Golkar menikmati rangkap jabatan dan fasilitas negara, mengapa setelah reformasi sekarang ini kami dari parpol lain tidak boleh menikmatinya. Hal ini menunjukkan bahwa kekuasaan dalam birokrasi pemerintah selama ini dipergunakan sangat sentralistis dan sistematis. Kebiasaan yang sudah berjalan puluhan tahun ini nampaknya tidak mudah untuk dilakukan perubahan dengan cepat. Kondisi seperti ini yang membuat birokrasi tidak sepenuhnya akuntabel.

Leave a Reply

Close Menu